Tuesday, May 7, 2013

maradeka.com

Kedai Maradeka

Terletak di Jalan sindang barang loji Bogor, lampu merah loji pertigaan. Nama kedai Maradeka didirikan  sebagai bentuk pemenuhan kebentuhan para pecinca makanan kuliner asal indonesia timur khususnya makassar.
 menu sajian pilihan diantaranya :
  1. Sop Konro dibuat dari daging sapi pilihan yang dicampur kuah sup, dipadu dengan bumbu kacang racikan khas Makassar dengan harga yang relatif terjangkau..dengan berkisar antara 32.000 rupiah.
  2. Coto Makassar perpaduan antara cita rasa yang diracik dengan sempurna dengan cita rasa asli dari makassar yang menjadi ketertarikan bagi pecinta kuliner coto serta dengan harga yang relatif terjangkau harga 15.000 ribu dengan perpaduan buras dan ketupat seharga 1000 rupiah.
  3. Ragam kuliner di Makassar tidak melulu dari daging-dagingan yang terkenal, seperti menu Coto Makassar atau Sup Konro. Tapi ada juga menu Mie Titi, mi kering khas Chinese Food.

    Mie Titi dibuat dari bahan baku mi yang digoreng kering, lalu disiram kuah kental dari adonan telur dan sayur-sayuran hijau. Selain itu, udang dan daging ayam yang dipotong kecil-kecil melengkapi menu mi kering yang sudah terkenal di Makassar.Bagi yang suka menikmati makanan pedas, Mie Titi lebih sedap bila dicampur langsung dengan saus sambal dan cabe rawit yang sudah diramu khusus. Untuk menikmati hidangan Mie Titi cukup merogoh koceknya Rp 20  ribu porsi besar dan 15 ribu porsi kecil.
  4. bersambung menu lainnya.............

maradeka.com

Monday, February 6, 2012

perbedaan protokol induksi berahi terhadap durasi estrus pada sapi perah

PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Sinjai merupakan salah satu Kabupaten yang berusaha mengembangkan sapi perah. Besarnya apresiasi dari pihak birokrasi dan masyarakat serta iklim yang mendukung untuk menjadikan Kabupaten Sinjai menjadi sentrum pengembangan sapi perah. Pengembangan sektor Peternakan di Kabupaten Sinjai mendapat perhatian dari Pemerintah, terbukti dengan ditetapkannya Kabupaten Sinjai dalam program Gerbang Mas sektor Peternakan. Kabupaten Sinjai memiliki iklim dan letak geografis yang menguntungkan. Disamping itu potensi lahan yang luas untuk pengembangan sektor ini masih luas dan tersedianya pakan yang melimpah merupakan salah satu indikator dipilihnya Kabupaten Sinjai dalam pengembangan program Gerbang mas di sektor Peternakan. Salah satu upaya dalam pengembangan ini yaitu pengembangan sapi perah, Pengemukan sapi potong, Pengembangan kambing bour. Dalam pengembangan sapi perah, dimulai pada tahun 2002, yang setiap tahunnya populasinya bertambah, awalnya hanya 73 ekor kini telah mencapai 199 ekor (Anonim, 2011a). Faktor keberhasilan sapi perah salah satunya tergantung pada penampilan reproduksi yang berhubungan dengan efisiensi reproduksi. Penampilan reproduksi yang baik akan menunjukkan nilai efisiensi reproduksi yang tinggi, sedangkan produktifitas yang masih rendah dapat diakibatkan oleh berbagai faktor terutama yang berkaitan dengan efesiensi reproduksi. Variabel yang berpengaruh seperti kekurangan pakan sehingga menyebabkan kurus yang berefek pada sulit birahi, atau birahi tapi tidak nyata (silent heat), atau ada birahi tetapi tidak terjadi ovulasi. Seandainya sapi ini mampu bunting, tetapi kemudian kekurangan pakan, maka kemungkinan besar akan terjadi keguguran (Putro, 2009). Lamanya berahi bervariasi pada tiap – tiap hewan dan antara individu dalam satu spesies. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh variasi-variasi sewaktu estrus, terutama pada sapi dengan periode berahinya yang terpendek di antara semua ternak mamalia. Berhentinya estrus sesudah perkawinan merupakan indikasi yang baik bahwa kebuntingan telah terjadi. Akan tetapi dapat juga terjadi pada 3 sampai 5 % sapi – sapi yang bunting selama 3 bulan pertama masa kebuntingan walaupun dapat terjadi dalam bulan–bulan yang lebih tua. (Achyadi, K. R., 2009). Lama estrus pada sapi sekitar 12-24 jam (Putro, 2008). Estrus pada sapi biasanya berlangsung selama 12 – 18 jam. Variasi terlihat antar individu selama siklus estrus, pada sapi-sapi di lingkungan panas mempunyai periode estrus yang lebih pendek sekitar 10-12 jam. Selama atau segera setelah periode ini, terjadilah ovulasi. Ini terjadi dengan penurunan tingkat FSH dalam darah dan penaikan tingkat LH. Sesaat sebelum ovulasi, folikel membesar dan turgid serta ovum yang ada di situ mengalami pemasakan. Estrus berakhir kira-kira pada saat pecahnya folikel ovari atau terjadinya ovulasi (Frandson, 1996). Rumusan Masalah Rendahnya efiesiensi reproduksi sapi perah disinyalir karena deteksi estrus yang kurang optimal yang disebabkan durasi estrus yang pendek, bahkan deteksi estrus yang sulit di temukan karena ternak sapi perah dikandangkan dengan melihat tanda-tanda berahi primer pada ternak. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan melihat durasi estrus dengan protokol berahi yang berbeda. Hipotesis Berdasarkan alur pada rumusan masalah di atas diduga bahwa rendahnya efisiensi reproduksi ternak sapi perah di Kabupaten Sinjai disebabkan oleh deteksi estrus yang kurang optimal yang disebabkan oleh durasi estrus yang berbeda pada tiap individu ternak khususnya pada ternak yang berdurasi estrus yang pendek. Tujuan dan Kegunaan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui pengaruh perbedaan protokol induksi berahi terhadap durasi estrus pada sapi perah di Kabupaten Sinjai. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan informasi bagi peneliti, peternak, dan masyarakat umum dalam upaya pengembangan ternak sapi perah terutama aspek reproduksi. TINJAUAN PUSTAKA A. Efisiensi Reproduksi Ternak Sapi Perah Dalam budidaya sapi potong maupun sapi perah, adanya penampilan reproduksi optimum merupakan hal yang paling menentukan keberhasilan produktivitasnya. Salah satu penampilan reproduksi optimum yang dimaksud adalah jarak melahirkan (calving interval) optimum dengan kisaran 12 – 15 bulan untuk kondisi peternakan rakyat di Indonesia. Hasil penampilan reproduksi optimum dapat dicapai bila program pengawinan (breeding) alami maupun penggunaan inseminasi buatan (IB) dilakukan dengan tepat saat setelah usia pubertas pada sapi dara atau segera setelah fase pasca melahirkan pada sapi induk. Sapi perah atau sapi potong diharapkan kawin kembali dalam waktu 2 – 3 bulan setelah melahirkan, sehingga sapi dapat bunting kembali dalam waktu 3 – 4 bulan pasca melahirkan. Kasus infertilitas yang menonjol pada sapi perah dan sapi potong rakyat di Indonesia adalah tingginya kejadian anestrus post partum (tidak berahi pasca melahirkan). Kejadian ini mengakibatkan terlambatnya kawin kembali pasca melahirkan, sehingga jarak melahirkan melebihi 18 bulan (Husnurrisal, 2008). Ukuran efesiensi reproduksi dalam usaha peternakan sangatlah penting, dengan adanya beberapa ukuran efesiensi reproduksi sapi perah berdasarkan penampilan reproduksi, periode kosong yaitu periode atau selang waktu sejak sapi beranak sampai dikawinkan kembali dan terjadi kelahiran, kawin pertama setelah beranak yaitu selang waktu sejak sapi beranak sampai dikawinkan kembali, jumlah kawin pada setiap kelahiran yaitu berapa kali sapi dikawinkan sampai terjadi kelahiran. Lama bunting yaitu selang waktu sejak sapi dikawinkan dan terjadi kelahiran sampai sapi beranak. B. Deskripsi Siklus Berahi Siklus berahi pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan spesies. Siklus berahi pada sapi berkisar antara 18-22 hari (Partodiharjo, 1992). Interval antara timbulnya satu periode berahi ke permulaan periode berikutnya disebut sebagai suatu siklus berahi. Siklus berahi pada dasarnya dibagi menjadi 4 fase atau periode yaitu proestrus, estrus, meteestrus, dan diestrus (Hafez, 2000; Marawali, dkk., 2001; Sonjaya, 2005). Berdasarkan perubahan-perubahan dalam ovaria siklus estrus dapat dibedakan pula menjadi 2 fase, yaitu fase folikel, meliputi proestrus, estrus serta awal metestrus, dan fase lutea, meliputi akhir metestrus dan diestrus. Fase 1. Proestrus (prestanding events). Fase ini hanya berlangsung 1 - 2 hari. Betina berperilaku seksual seperti jantan, berusaha menaiki teman-temannya (homoseksualitas), menjadi gelisah, agresif, dan mungkin akan menanduk, melenguh, mulai mengeluarkan lendir bening dari vulva, serta vulva mulai membengkak. Fase 2. Estrus (Standing Heat). Pada fase ini hewan betina diam bila dinaiki oleh temannya atau standing position. Tetapi juga perlu diperhatikan hal lain seperti seringkali melenguh, gelisah, mencoba untuk menaiki teman-temannya. Sapi betina menjadi lebih jinak dari biasanya. Vulva bengkak, keluar lendir vulva jernih, mukosa terlihat lebih merah dan hangat apabila diraba. Fase 3. Metestrus (Pasca Birahi). Periode ini berlangsung selama 3 - 4 hari setelah birahi, sedikit darah mungkin keluar dari vulva induk atau dara beberapa jam setelah standing heat berakhir. Biasanya 85% dari periode birahi pada sapi dara dan 50% pada sapi induk berakhir dengan keluarnya darah dari vulva (untuk cek silang saat mengawinkan inseminasi harus sudah dilakukan 12-24 jam sebelum keluarnya darah). Keadaan ini disebut perdarahan metestrus (metestrual bleeding), ditandai dengan keluarnya darah segar bercampur lendir dari vulva dalam jumlah sedikit beberapa hari setelah birahi. Perdarahan ini biasanya akan berhenti sendiri setelah beberapa saat. Yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua siklus birahi pada sapi berakhir dengan keluarnya darah. Keluarnya darah tidak selalu berarti ovulasi telah terjadi dan tidak selalu menunjukkan bahwa bila diinseminasi ternak akan bunting atau tidak. Keluarnya darah hanya akan menunjukkan bahwa ternak telah melewati siklus birahi. Fase 4. Diestrus. Berlangsung selama 12 - 18 hari setelah periode metestrus sampai periode proestrus berikutnya dan alat reproduksi praktis ”tidak aktif” selama periode ini karena di bawah pengaruh hormon progesteron dari korpus luteum. C. Gejala Berahi Pada Sapi Perah Suatu cara untuk mengatasi sulitnya mendeteksi berahi yaitu dengan cara penerapan teknis sinkronisasi berahi. Prinsip dasar dari sinkronisasi berahi adalah memanipulasi dari fenomena siklus berahi, baik dengan cara menghambat sekresi LH ataupun memperpendek masa hidup dari corpus luteum yang berujung pada berahi dan ovulasi. Keuntungan dari sinkronisasi berahi adalah ketepatan waktu ovulasi sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi berahi sehingga tingkat keberhasilan dari IB dapat ditingkatkan. Sinkronisasi berahi pada ternak dimaksudkan agar ternak-ternak betina serentak berahinya dalam waktu yang sama. Selanjutnya ternak-ternak tersebut dapat diinseminasi secara bersama-sama sehingga dapat diprediksi waktu kelahiran yang bersamaan. Sistem ini dapat dipakai dalam perencanaan kelahiran anak dan pemasaran ternak di masa depan. Metode sinkronisasi berahi dapat dilakukan dengan menggunakan preparat hormon seperti prostaglandin dan progesteron. Prostaglandin F2α (PGF-2α) bersifat luteolitik yang berperan untuk meregresikan corpus luteum (CL), mengakibatkan penghambatan yang dilakukan hormon progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap gonadotropin menjadi hilang. Akibat yang ditimbulkannya adalah terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel dalam ovarium. Toelihere (1995) menyatakan bahwa efek pemberian PGF-2α akan menurunkan level progesteron dan akan memberikan rebound effect terhadap pelepasan hormon gonadotropin (FSH = follicle stimulating hormone dan LH = luteinizing hormone, Dengan teknik ini permasalahan deteksi berahi dapat dieliminir, sehingga pelaksanaan inseminasi buatan dapat dioptimalisasi. Usaha ini bertujuan untuk mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien sehingga mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok ternak, serta mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi IB, mengurangi waktu dan memudahkan observasi deteksi berahi, dapat menentukan jadwal kelahiran yang diharapkan, menurunkan usia pubertas pada sapi dara, penghematan dan efisiensi tenaga kerja inseminator karena dapat mengawinkan ternak pada suatu daerah pada saat yang bersamaan. Birahi ternyata bertepatan dengan perkembangan maksimum folikel-folikel ovarium. Manifestasi psikologis birahi ditimbulkan oleh hormon seks betina, yaitu estrogen yang dihasilkan oleh folikel-folikel ovarium. Pada sapi betina seringkali terjadi birahi tenang semua fenomena histologis dan fisiologis yang normal dapat teramati, termasuk ovulasi tetapi respon untuk perkawinan tidak tampak, untuk beberapa individu, kebutuhan estrogen mungkin lebih besar dibanding yang lainnya dan birahi tenang mungkin disebabkan oleh kegagalan dalam mensekresi estrogen dalam jumlah yang cukup besar untuk menimbulkan respon perkawinan. Tanda-tanda sapi birahi antara lain vulva nampak lebih merah dari biasanya, bibir vulva nampak agak bengkak dan hangat, sapi nampak gelisah, ekornya seringkali diangkat bila sapi ada dipadang rumput sapi yang sedang birahi tidak suka merumput, kunci untuk menentukan yang mana diantara sapi-sapi yang saling menaiki tersebut birahi adalah sapi betina yang tetap tinggal diam saja apabila dinaiki dan apabila didalam kandang nafsu makannya jelas berkurang, pada sapi dewasa laktasi tidak jarang produksi susunya turun (Anonim, 2011c). D. Durasi Estrus Estrus didefinisikan sebagai periode waktu ketika betina resepsif terhadap jantan dan akan membiarkan untuk dikawini. Menurut Frandson (1996), fase estrus ditandai dengan sapi yang berusaha dinaiki oleh sapi pejantan, keluarnya cairan bening dari vulva dan peningkatan sirkulasi sehingga tampak merah. Tabel 1. Siklus Estrus Pada Sapi Karakteristik Keterangan Pubertas Proestrus Metestrus diestrus Anestrus Lama estrus Panjang siklus estrus Saat ovulasi Birahi setelah melahirkan 12 (8 – 18 bulan) 3-4 hari 2 hari 15 hari Sampai musim kawin (Mc.Donald,1969) 16 (6 – 20 jam) 21 (14 – 24 hari) 12 (2 – 26 jam) 35 (16 – 90 hari) (Widiyono, 2008). Lama estrus pada sapi sekitar 12-24 jam (Putro, 2008). Estrus pada sapi biasanya berlangsung selama 12 – 18 jam. Variasi terlihat antar individu selama siklus estrus, pada sapi-sapi di lingkungan panas mempunyai periode estrus yang lebih pendek sekitar 10-12 jam. Selama atau segera setelah periode ini, terjadilah ovulasi. Ini terjadi dengan penurunan tingkat FSH dalam darah dan penaikan tingkat LH. Sesaat sebelum ovulasi, folikel membesar dan turgid serta ovum yang ada di situ mengalami pemasakan. Estrus berakhir kira-kira pada saat pecahnya folikel ovari atau terjadinya ovulasi (Frandson, 1996). Lamanya berahi bervariasi pada tiap – tiap hewan dan antara individu dalam satu spesies. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh variasi-variasi sewaktu estrus, terutama pada sapi dengan periode berahinya yang terpendek di antara semua ternak mamalia. Berhentinya estrus sesudah perkawinan merupakan indikasi yang baik bahwa kebuntingan telah terjadi. Akan tetapi dapat juga terjadi pada 3 sampai 5 % sapi – sapi yang bunting selama 3 bulan pertama masa kebuntingan walaupun dapat terjadi dalam bulan–bulan yang lebih tua. (Achyadi, K. R., 2009). Lama siklus berahi pada sapi dikontrol oleh sekresi progesteron dan CL. Konsentrasi pogesteron akan meningkat setelah ovulasi dan mencapai konsentrasi maksimum pada hari ke 8-11 dalam siklus berahi. Tingginya konsentrasi progesteron akan menghambat sekresi GnRH. Pada ternak yang tidak bunting, di mana prostaglandin PGF2 disokong oksitosin yang disekresikan endometrium uterus, CL akan regresi dan konsentrasi progesteron menurun sampai 0,5 ng/ml dalam waktu 24 jam. Selama siklus berahi, CL merupakan struktur yang penting dalam hal ukuran dan lama terjadinya. Munculnya dan hilangnya CL bertanggung jawab terhadap fenomena siklus berahi (Sonjaya, 2005). Tabel 2. Lama Periode Siklus Berahi pada Ternak Ternak Proestrus (hari) Estrus (hari) Meteestrus (hari) Diestrus (hari) Sapi Kuda Babi Domba 3 3 3 2 12 – 24 jam 4 – 7 2 – 4 1 - 2 3 – 5 3 – 5 3 – 4 3 – 5 13 6 – 10 9 – 13 7 – 10 Sumber : Marawali, dkk., (2001). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lama Durasi Estrus. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi reproduksi antara lain pakan nutrisi yang terkandung di dalam ransum berpengaruh pada organ-organ reproduksi dan fungsi kelenjar-kelenjar yang memproduksi hormon. Manajemen atau tatalaksana sangatlah berpengaruh terhadap ternak sapi terhadap penyakit dan suhu udara dan musim sangat berpengaruh terhadap sifat reproduksi. (Anonim, 2011c). 1. Kekurangan Nutrisi Faktor nutrisi merupakan faktor yang lebih kritis, dalam arti baik pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung terhadap fenomena estrus dibanding faktor lainnya. Jadi, nutrisi yang cukup dapat mendorong proses biologis untuk mencapai potensi birahi, mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan yang tidak nyaman dan meminimalkan pengaruh-pengaruh dari teknik manajemen yang kurang baik. Nutrisi yang kurang baik tidak hanya akan mengurangi potensi genetiknya, tetapi juga memperbesar pengaruh negatif dari lingkungan. Disamping itu, faktor nutrisi lebih siap dimanipulasi untuk menjamin luaran produk yang positif dibanding faktor-faktor lainya. Oleh karena itu perlu mendapat perhatian yang serius terhadap interaksi antara nutrisi dan siklus estrus terutama di daerah tropika, yang disebabkan beberapa hal antara lain: ketidak-cukupan nutrisi dalam arti secara kuantitatif yaitu konsumsi pakan dan kualitatif yaitu ketidakseimbangan zat-zat nutrisi. Kegagalan memahami dengan baik interaksi ini untuk mengurangi dampak negatif dan memperbesar dampak positif akan berpengaruh buruk terhadap efisiensi estrus pada ternak. kelompok sapi betina tidak pernah dikeluarkan pada kandang terbuka, tidak mengenal baik tingkah laku birahi, kekurangan energi sapi banyak kekurangan zat nutrisi akibat produksi susu tinggi atau kekurangan pakan dan konsumsi bahan kering rendah (Achyadi, 2009). 2. Corpus Luteum Kegagalan memperlihatkan gejala birahi biasanya disebabkan karena sapi dengan corpus luteumnya yang fungsional dimana sapi bunting, corpus luteum yang persisten adanya kematian embrio dini, birahi lemah (sub estrus), birahi tenang (silent estrus) dan birahi yang tidak terobservasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sonjaya (2005) bahwa penyebab terlambatnya siklus birahi kembali setelah beranak adalah infeksi primer, trauma partus retentio secundinarum, ketidakseimbangan nutrisi, kurang gerak, stress laktasi, predisposisi keturunan, dan thyroid insufiensi. E. Sinkronisasi Ovulasi Sebagai Upaya Peningkatan Efisiensi Reproduksi Prinsip dasar dari sinkronisasi ovulasi adalah memanipulasi fenomena siklus berahi, baik dengan cara menghambat sekresi LH atau memperpendek masa hidup corpus luteum yang berdampak dimulainya awal berahi dan ovulasi. Keuntungan dari sinkronisasi ovulasi adalah waktu tepat ovulasi dapat ditentukan sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi berahi, tingkat keberhasilan dari inseminasi buatan dapat ditingkatkan, mensinkronkan waktu kawin yang berdampak waktu ovulasi dan waktu melahirkan induk bersamaan (Hafez and Hafez,. 2000). Sinkronisasi ovulasi mempunyai potensi dalam memperpendek musim kelahiran, meningkatkan keseragaman umur pedet, dan mempertinggi kemungkinan penggunaan IB. Penghambat utama dalam sinkronisasi berahi dan pencapaian kebuntingan optimum pada sapi potong menyusui adalah merangsang berahi setelah melahirkan (Larson, dkk, 2006). Sapi merupakan hewan poliestrus, setelah mencapai usia pubertas siklus estrus berlangsung secara terus menerus sepanjang tahun, kecuali pada saat hewan bunting, siklus estrusnya terhenti sementara. Panjang siklus estrus normal pada sapi induk 21 + 3 hari dan sapi dara 20 + 2 hari, walaupun ada sedikit variasi bangsa sapi. Kebanyakan bangsa sapi mempunyai rerata lama estrus 12 jam dengan variasi normal antara 8 sampai 16 jam. Waktu ovulasi pada sapi umumnya terjadi sekitar 12 jam dari akhir estrus. Salah satu aspek yang penting dalam meningkatkan efisiensi reproduksi ternak betina adalah peningkatan persentase berahi pada satu kawanan / populasi betina sehingga jumlah betina yang siap kawin jumlahnya meningkat, dan diharapkan dapat meningkatkan jumlah anak yang lahir per ekor induk per tahun. Berbagai metode telah banyak dilakukan di negara – negara yang sudah maju, baik hormonal misalnya penggunaan hormon gonadotropin eksogen : GnRH, hCG, immunisasi terhadap steroid, dll (Chenault, dkk, 1990; Schmitt, dkk, 1996;Fricke, dkk, 1993), maupun non hormonal (seleksi, perbaikan kualitas pakan, dll) untuk meningkatkan efisiensi reproduksi (Sansoucy, dkk, 1986). Efektifitas dan efisiensi metoda banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama bangsa ternak, musim dan kondisi fisiologis ternak itu sendiri. Perlakuan sinkronisasi diberikan untuk menentukan waktu IB (Pursley, dkk, 1997; Cerri, dkk, 2004). Perlakuan yang mengkombinasikan sinkronisasi menyebabkan kemunculan folikel ovarium, regresi corpus luteum, dan menyebabkan hasil ovulasi serupa atau rata – rata perkawinan yang agak rendah tetapi service rates yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan untuk sinkronisasi berahi (Pursley. dkk, 1997;Cartmill, dkk, 2001; Chebel, dkk., 2004; Tenhagen, dkk, 2004), perlakuan tersebut biasanya meningkatkan rata – rata kebuntingan pada sapi dengan rata – rata berahi yang dideteksi rendah (Cerri, dkk., 2004). F. Protokol Sinkronisasi Ovulasi 1. Ovsynch Prinsip dasar dari sinkronisasi ovulasi adalah memanipulasi fenomena siklus estrus, baik dengan cara menghambat sekresi LH atau memperpendek masa hidup corpus luteum yang berdampak dimulainya awal berahi dan ovulasi. Keuntungan dari sinkronisasi ovulasi adalah waktu tepat ovulasi dapat ditentukan sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi estrus, tingkat keberhasilan dari IB dapat ditingkatkan, mensinkronkan waktu kawin yang berdampak waktu ovulasi dan waktu melahirkan induk bersamaan (Hafez, 2000). Sinkronisasi ovulasi mempunyai potensi dalam memperpendek musim kelahiran, meningkatkan keseragaman umur pedet, dan mempertinggi kemungkinan penggunaan IB (Larson dkk.,2006). Protokol ovsynch adalah salah satu protokol sinkronisasi ovulasi dengan menggunakan kombinasi hormon GnRH dan PGF2α. Pada protokol ovsynch , hari ke-0 diberi injeksi GnRH untuk ovulasi folikel dan memulai gelombang folikel baru. Hari ke-7 diberi injeksi PGF2α untuk regresi CL. Hari ke-9 diberi injeksi GnRH untuk ovulasi folikel. Hari ke-10, Inseminasi Buatan dilakukan 12-16 jam setelah injeksi GnRH kedua (Pursley dkk .,1997). Ketika diinjeksi GnRH pada hari nol dari protokol ovsynch tetapi kondisi ovarium sapi tidak diketahui, maka GnRH akan memicu pelepasan LH yang menyebabkan ovulasi dan memulai siklus lagi jika pada saat itu ovarium memiliki folikel matang. Jika ada CL, GnRH akan memicu pelepasan FSH yang menciptakan kelompok baru folikel kemudian jika sapi baru saja ovulasi dalam 4-5 hari, GnRH tidak akan berfungsi (Anonim, 2006). 2. Progesteron Progesteron dapat juga disebut P4 merupakan hormon steroid yang terlibat dalam siklus estrus betina. P4 merupakan hormon yang diproduksi dan dilepaskan ke dalam darah oleh corpus luteum pada ovarium. Corpus luteum (CL) terbentuk setelah folikel telah mengalami ovulasi. Pada saat estrus, konsentrasi hormon ini rendah dan mulai berkembang setelah ovulasi. Pada saat sapi dibuahi dan bunting, progesteron dalam darah tetap tinggi sampai menjelang partus. Bila sapi tidak konsepsi, maka CL akan mulai berdegenerasi kira-kira hari ke-17 dari siklus estrus dan P4 akan menurun sampai konsentrasi minimalnya pada hari ke 20-23 pada saat sapi kembali estrus (Anonim, 2011b). Fungsi P4 sulit dipisahkan dari hormon-hormon lain seperti esterogen. P4 secara normal bekerjasama dengan esterogen dan hanya menghasilkan sedikit pengaruh khusus bila bekerja sendiri. P4 menstimuler pertumbuhan sistem glanduler pada endometrium uterus yang telah disensitifkan terlebih dahulu oleh esterogen. P4 mempertahankan kebuntingan dengan menghasilkan suatu lingkungan endometrial yang sesuai untuk kelanjutan hidup dan perkembangan embrio. P4 menghambat produksi FSH dan LH, sehingga mencegah terjadinya estrus, ovulasi dan siklus estrus. P4 bekerjasama dengan esterogen menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan sistem alveolar kelenjar mamae (Toelihere, 1979). Konsentrasi P4 dalam darah erat korelasinya dengan konsentrasinya dalam susu. P4 merupakan hormon steroid yang memiliki afinitas dengan lemak susu. P4 dalam susu ini lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan dengan didalam darah Hal ini dapat disebabkan karena daya larut dari P4 tersebut sebagai hormon steroid dan dikatakan juga bahwa sintesis P4 dalam jaringan mamae kambing dilakukan oleh suatu enzim (Anonim, 2011b ). P4 dapat digunakan sebagai test kebuntingan karena CL hadir selama awal kebuntingan pada semua spesies ternak. Level P4 dapat diukur dalam cairan biologis seperti darah dan susu, kadarnya menurun pada hewan yang tidak bunting. P4 rendah pada saat tidak bunting dan tinggi pada hewan yang bunting. Test pada susu lebih dianjurkan dari pada test pada darah, karena kadar P4 lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma darah. Lagi pula sampel susu mudah didapat saat memerah tanpa menimbulkan stress pada ternaknya. Sampel susu ditest menggunakan radio immuno assay (RIA). Sampel ini dikoleksi pada hari ke 22 – 24 setelah inseminasi. Teknik koleksi sample bervariasi namun lebih banyak diambil dari pemerahan sore hari. Bahan pengawet seperti potasium dichromate atau mercuris chloride ditambahkan untuk menghindari susu menjadi basi selama transportasi ke laboratorium. Metoda ini cukup akurat, tetapi relatif mahal, membutuhkan fasilitas laboratorium dan hasilnya harus menunggu beberapa hari. 3. Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) GnRH merupakan suatu dekadeptida (10 asam amino) dengan berat molekul 1183 dalton. Hormon ini menstimulasi sekresi follicle stimulating hormon (FSH) dan Lutinizing Hormone (LH) dari hipofisis anterior (Salisbury dan vandemark, 1985). Pemberian GnRH meningkatkan FSH dan LH dalam sirkulasi darah selama 2 sampai 4 jam (Chenault dkk .,1990). Secara alamiah, terjadinya level tertinggi (surge) LH yang menyebabkan ovulasi merupakan hasil kontrol umpan balik positif dari sekresi estrogen dari folikel yang sedang berkembang. Berikut ini adalah mekanisme kerja GnRH. Hipotalamus akan mensekresi GnRH, kemudian GnRH akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensekresi FSH dan LH. FSH bekerja pada tahap awal perkembangan folikel dan dibutuhkan untuk pembentukan folikel antrum. FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen. Menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrohen mencapai suatu tingkatan yang cukup tinggi untuk menekan produksi FSH dan dengan pelepasan LH menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan terbentuk korpus luteum dan ketika tidak bunting maka PGF2α dari uterus akan melisiskan korpus luteum. Tetapi jika terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk menjaga kebuntingan (Adnan dan Ramdja, 1986). 4. Prostaglandin (PGF2α) Prostaglandin adalah senyawa C20 dengan satu cincin siklopenta yang mirip derivate asam lemak tak jenuh seperti arakidonat (Solihati, 2005). Nama prostaglandin diberikan oleh Von Euler karena ia berpendapat bahwa zat ini dihasilkan oleh kelenjar prostat manusia. Prostaglandin mempunyai implikasi pada pelepasan gonadotropin, ovulasi, regresi CL, motilitas uterus dan motilitas spermatozoa (Djajosoebagio, 1990). PGF2α bersifat luteolitik sehingga mampu menginduksi terjadinya regresi CL yang mengakibatkan estrus, akan tetapi mekanisme yang sebenarnya belum diketahui dengan pasti walaupun salah satu dari postulat-postulat yang ada menyatakan bahwa efek vasokonstriksi dari PGF2α dapat menyebabkan luteolisis. Beberapa hipotesis tentang bagaimana kerja PGF2α dalam melisiskan CL yaitu (1) PGF2α langsung berpengaruh kepada hipofisis, (2) PGF2α menginduksi luteolisis melalui uterus dengan jalan menstimulir kontraksi uterus sehingga dilepaskan luteolisis uterin endogen, (3) PGF2α langsung bekerja sebagai racun terhadap sel-sel CL, (4) PGF2α bersifat sebagai antigonadotropin, baik dalam aliran darah maupun reseptor pada CL, dan (5) PGF2α mempengaruhi aliran darah ke ovarium (Solihati, 2005). PGF2α hanya efektif bila ada korpus luteum yang berkembang, antara hari 7 sampai 18 dari siklus estrus ( Putro, 2008 ). 5. Controlled Internal Drug Release (CIDR) Controlled Internal Drug Release (CIDR) merupakan alat yang terbuat dari sebatang silikon berbentuk huruf T dan mengandung 1,9 gram hormon progesteron untuk hewan besar (seperti sapi dan kerbau) dan 0,33 gram hormon progesteron untuk hewan kecil (seperti kambing dan domba). Keuntungan penggunaan alat ini adalah untuk mengontrol siklus berahi, mengatasi problem fertilitas seperti anovulatory anoestrus (ternak yang tidak bersiklus) dan ovarium yang sistik, serta untuk program seleksi dan transfer embrio (Anonim 2011b). Pemasangan CIDR dilakukan secara asepsis dengan aplikator khusus yang sudah dicelupkan dalam larutan antiseptik standar, diberi pelumasan dengan gel steril, netral, kemudian dimasukkan ke dalam vagina sampai di depan os uteri dari servik, seterusnya implan dideposisikan pada tempat itu. Estrus akan timbul dalam waktu 3 hari kemudian setelah CIDR dicabut, sehingga inseminasi buatan dapat dilakukan antara hari ke 48 sampai 72 jam kemudian ( Putro, 2008). Mekanisme kerja dari alat ini, yaitu alat ini dimasukkan dan didiamkan dalam vagina selama beberapa hari, selanjutnya progesteron yang terdapat di dalam alat ini akan diserap oleh vagina dan segera disekresikan ke dalam aliran darah yang akan menghambat pelepasan FSH dan LH dari adenohipofisis melalui mekanisme umpan balik negatif. Kadar progesteron dalam darah akan meningkat pada saat alat disisipkan dalam vagina dan tetap stabil dipertahankan selama periode penyisipan alat ini. Setelah alat ini dicabut terjadi penurunan progesteron secara mendadak dan mencapai level basal sehingga terjadi feedback positif pada hipotalamus untuk melepaskan GnRh yang akhirnya terjadi pelepasan hormon FSH dan LH dari adenohipofisis dan akan terjadi pematangan folikel, berahi dan ovulasi. CIDR memberikan fertilitas terbaik bila diinsersikan selama 7 sampai 10 hari (Putro, 2008).Pada pemasangan CIDR di vagina dilakukan pada hari ke-0. Setelah selang 7 hari CIDR dicabut, tetapi 24 jam sebelum pencabutan CIDR di injeksi PGF2α untuk melisiskan korpus luteum yang tersisa, sehingga akan lebih meminimumkan kadar progesteron setelah CIDR dicabut, sebagai akibatnya proses estrus dan ovulasi akan menjadi lebih baik (Putro, 2008). DAFTAR PUSTAKA Adnan, A. dan Ramdja , M. 1986. Fisio Patologi Ovarium Sapi Dan Aktivitas Hormonalnya. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Achyadi, K. R., 2009.Deteksi Birahi pada Ternak Sapi. Tesis MS Pascasarjana IPB. Bogor. Anonim, 2006. Reproductive Physiology And Endocrinology- Artificial Insemination. http//www.aqha.com. Diakses 09 Oktober 2011. Anonim, 2011. Statistik Peternakan. Kabupaten Sinjai.http//.situsresmikabupaten sinjai. Diakses 05 Oktober 2011. Anonim, 2011a. Teknik Sinkronisasi Estrus Pada Sapi. http//.dokterhewanku.com. Diakses 05 Oktober 2011. Anonim, 2011b. Gejala-gejala berahi sapi perah. http//.akhirman.com. Diakses 09 Oktober 2011. Cartmill, J. A., El-Zarkouny, S. Z., Hensley, B. A., Lamb, G. C. and Stevenson, J. S. 2001. Stage of cycle, incidence and timing of ovulation and pregnancy rate in dairy cattle after three timed breeding protocols. J. Dairy Sci. 84: 1051-1059. Cerri. R.L.A., J.E.P. Santos, S.O. Juchem, K.N. Galvao, and R.C. Chebel. 2004. Timed artificial insemination with estradiol cypionate or insemination at estrus in high-producing dairy cows. J.Dairy Sci. 87: 3704-3715. Chebel, R. C., Santos, J. E. P., Rutigliano, H. M. and Cerri, R. L. A. 2004. Efficacy of an injection of dinoprost tromethamine when given subcutaneously on luteal Chenault, J. R., D.D Kratser, R.A Rzepkowski, and M.C. Goodwin. 1990. LH and FSH response of Holstein Heifer To Fertirelin Acetate, Gonadrelin And Buserin. Theriogenology 53:1407–1414. Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi Kelenjar endokrin Volume II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen. Dikti. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB. E.J.P. Schmitt, and W.W. Thacther. 1996. Evaluation Of Timed Insemination Using Gonadotroping-Realising Hormene Agonist In Lactating Dairy Cows. J. Anim. Sci. 74:1084–1091. Frandson, R.D., 1996, Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi ke-7, diterjemahkan oleh Srigandono, B dan Praseno, K, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Fricke, P. M., J. N. Guenther, and M. C. Wiltbank. 1993. Effect Of Decreasing The Dose Of Gnrh Used In A Protocol For Synchronization Of Ovulation And Timed Ai In Lactating Dairy Cows. Theriogenology 50:1275–1284 Hafez E.S.E. and Hafez, B. 2000. Reproduction In Farm Animal. 7th edition . Leafebiger. Philadelphia Husnurrizal. 2008. Sinkronisasi Berahi Dengan Preparat Hormon Prostaglandin (PGF2α). Lab. Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. (http://www.foxitsoftware.com). Diakses 09 Oktober 2011 Larson, J.E., G.C. Lamb, J.S. Stevenso, S.K. Johnson, M.L. day, T.W Geary, D.J.kesler, J.M. Dejarnette, F.N Schrick, A. DiCoztanzo and J.D. Arseneau. 2006. Synchronization Of Estrus In Sucled Beef Cows For Detected Estrous And Artificial Insemination Using Gonadotroping-Releasing Hormone, Prostaglandin F2α, And Progesteron. J. Anim. Sci. 71:61. Marawali,A. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Reproduksi Ternak. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Tinggi Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur. Jakarta McDonald, L.E., 1969, Veterinary Endocrinology and Reproduction, Lea & Febringer,Philadelphia. Partodiharjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Pursley, J. R., M. W. Kosorok, and M. C. Wiltbank. 1997. Reproductive management of lactating dairy cows using synchronization of ovulation. J. Dairy Sci. 80:301–306. Putro, P.P., 2008. Dampak Crossbreeding terhadap Reproduksi Induk Turunannya: Hasil Studi Klinis. Lokakarya Lustrum VIII Fak. Peternakan UGM, 8 Agustus 2009 Sansoucy, R., G. Aarts and R.A. Leng. 1986. Mollases urea blok as a multinutrient for ruminant. Sugar cane as feed. Proceeding of an FAO expert consultation help in Suntodominggo. July, 7 – 11., 1986. Dominocan Republic. 57:81. Salisbury, R.E. dan W.L. vandemark. 1985. Fisiologi reproduksi dan inseminasi buatan pada sapi. Edisi terjemahan oleh R. Djanuar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Solihati, N. 2005. Pengaruh Metode Pemberian PGF2α Dalam Sinkronisasi Estrus Terhadap angka Kebuntingan Sapi Perah Anestrus. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran. Sonjaya, H. 2005. Materi Mata Kuliah Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar Tenhagen, B. A. 2005. Factors influencing conception rate after synchronization of ovulation and timed artificial insemination–A review. Dtsch. Tieraerztl. Wochenschr. 112:136–141. Toelihere. M.R. 1995. Fisiologi Reproduksi Ternak. Penerbit Angkasa Bandung, Bandung. Widiyono, Irkham. 2008. Hewan Produksi Ruminantia dan Non Ruminantia. (kuliah Pengantar S-1 angkatan 2008, tanggal 21 Oktober 2008)

Saturday, November 19, 2011

seminar jurusan ANGKA KONSEPSI TERNAK SAPI PERAH DARA (HEIFER) YANG DI SINKRONISASI BERAHI DENGAN BERBAGAI METODOLOGI


PENDAHULUAN
Dalam budidaya sapi potong maupun sapi perah, adanya penampilan reproduksi optimum merupakan hal yang paling menentukan keberhasilan produktivitasnya. Salah satu penampilan reproduksi optimum yang dimaksud adalah jarak beranak (calving interval) optimum dengan kisaran 12 – 15 bulan untuk kondisi peternakan rakyat di Indonesia. Hasil penampilan reproduksi optimum dapat dicapai bila program pengawinan (breeding) alami maupun penggunaan inseminasi buatan (IB) dilakukan dengan tepat saat setelah usia pubertas pada sapi dara atau segera setelah fase pasca beranak pada sapi induk. Sapi perah atau sapi potong diharapkan kawin kembali dalam waktu 2 – 3 bulan setelah beranak, sehingga sapi dapat bunting kembali dalam waktu 3 – 4 bulan pasca beranak. Kasus infertilitas yang menonjol pada sapi perah dan sapi potong rakyat di Indonesia adalah tingginya kejadian anestrus post partum (tidak berahi pasca beranak). Kejadian ini mengakibatkan terlambatnya kawin kembali pasca beranak, sehingga jarak beranak melebihi 18 bulan.
            Berdasarkan hal tersebut, apabila tidak ada terobosan teknologi untuk meningkatkan populasi maka ternak sapi perah akan mengalami penurunan kuantitas. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan penerapan bioteknologi reproduksi yang sedang berkembang yaitu sinkronisasi ovulasi dan inseminasi buatan (IB).  Keuntungan dari sinkronisasi berahi adalah waktu ovulasi yang dapat ditentukan sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi berahi sehingga tingkat keberhasilan IB dapat di tingkatkan, mensinkronkan waktu kawin yang berdampak waktu ovulasi bersamaan (Hafez dan Hafez, 2000).
            Diantara beberapa faktor reproduksi, faktor estrus (berahi) dan ovulasi adalah merupakan faktor yang sangat penting, mengingat bilamana kedua faktor ini gagal maka akan gagal proses reprodusksi secara keseluruhan. Pengendalian atau pengontrolan berahi atau ovulasi adalah suatu teknik atau metode yang dapat di gunakan untuk memaksimalkan tingkat reproduksi pada ternak, namun hal ini harus dibarengi dengan tatalaksana pemeliharaan yang baik.
Permasalahan
            Untuk mengatasi penurunan populasi ternak sapi perah maka perlu di terapkan bioteknologi reproduksi yaitu sinkronisasi berahi. Berbagai metode sinkronisasi berahi telah banyak di lakukan seperti penyuntikan PGF2α yang bertahap, penyuntikan GnRH tunggal, pemberian PMSG, pemberian hCG. Umumnya ternak tidak menunjukkan berahi secara serentak sehingga mengalami kesulitan untuk melakukkan inseminasi buatan, makanya metologi sinkronisasi adalah sebuah instrumen yang baik untuk diterapkan.




PEMBAHASAN
            Berahi adalah periode kesiapan kelamin betina untuk menerima kelamin jantan. Selama periode ini umumnya hewan betina akan mencari dan menerima pejantan untuk kopulasi. Menurut Hosein dan Gibson (2006), deteksi estrus pada sapi dara biasanya sedikit lebih sulit karena pendeknya periode estrus. Karena itu kemungkinan tanda-tanda estrus pada sapi dara lebih sulit diamati dibandingkan dengan sapi yang pernah bunting. Semua sapi dara yang ditemukan mengalami estrus harus direkording/dicatat tanggal dan identitasnya sehingga dapat membantu untuk memprediksi periode estrus selanjutnya berahi dapat di deteksi dengan melihat tanda-tanda yang muncul seperti sapi betina menjadi sangat tenang, kurang nafsu makan, berkelana mencari hewan jantan dan mencoba menaiki sapi-sapi betina lain dan akan diam jika di naiki. Vulva sapi tersebut dapat membengkak, memerah dan penuh dengan sekresi mucus transparan yang menggantung dari vulva atau terlihat di sekeliling pangkal ekor.
Siklus berahi pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan spesies (Partodiharjo, 1992). Terdapat sedikit perbedaan antara sapi dara dengan sapi yang telah beranak. Sapi dara menjadi berahi sekali dalam 20 hari, dengan variasi 18-22 hari. Sapi yang telah beranak rata-rata menjadi berahi sekali dalam 21-22 hari, dengan variasi 18-24 hari (Gomes, 1978).
Interval antara timbulnya satu periode berahi ke periode berikutnya disebut sebagai suatu siklus berahi. Siklus berahi pada dasarnya dibagi menjadi 4 fase atau periode yaitu  proestrus, estrus, metaestrus, dan diestrus (Marawali, dkk., 2001; Sonjaya, 2005).  Jarak antara estrus yang satu sampai pada estrus berikutnya disebut siklus estrus, sedangkan estrus itu sendiri adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi (Partodihardjo, 1987).  Siklus ovarium merupakan evolusi morfologik dan fisiologik pada kortek ovarium. Studi aktivitas eksoktrin maupun endoktrin memperlihatkan bahwa ovarium mempunyai suatu siklus perubahan yang terdiri dari dua fase yaitu
Ø  Fase folikel, yaitu fase perkembangan folikel di mana terjadi pematangan folikel preovulasi dan peningkatan produksi estrogen,
Ø  Fase luteal, yaitu fase produksi progesteron yang di hasilkan pada corpus luteum sedang aktif.
            Konsentrasi progesteron akan meningkat setelah ovulasi mulai hari ke 4 sampai dengan hari ke 16 dalam siklus yang merupakan fase luteal. Tingginya konsentrasi progesteron akan menghambat sekresi gonadotropin releasing hormon (GnRH) sehingga tidak dapat menstimilasi hipofisa anterior untuk mensekresikan FSH dan LH yang menyebabkan folikel tidak bertumbuh dan berahi serta ovulasi tidak terjadi. Saat corpus luteum (CL) regresi oleh prostaglandin (PGF2α) maka progesteron dalam darah menurun yang menyebabkan feed back positif terhadap hipotalamus untuk mensekresikan GnRH, sehingga FSH dan LH di hasilkan oleh hipofisa anterior untuk merangsang ovarium. Folikel bertumbuh menghasilkan tingginya estrogen yang merupakan struktur yang penting dalam ukuran dan lama terjadinya serta munculnya dan hilangnya CL bertanggung jawab terhadap siklus berahi (Burke, dkk., 1996).
            Suatu cara untuk mengatasi sulitnya deteksi berahi yaitu dengan cara penerapan teknis sinkronisasi birahi. Prinsip dasar dari sinkronisasi berahi adalah memanipulasi dari fenomena siklus birahi, baik dengan cara menghambat sekresi LH ataupun memperpendek masa hidup dari corpus luteum yang berujung pada berahi dan ovulasi. Keuntungan dari sinkronisai berahi adalah waktu yang tepat ovulasi sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi berahi sehingga tingkat keberhasilan dari inseminasi buatan dapat ditingkatkan. Sinkronisasi berahi pada ternak dimaksudkan agar ternak-ternak betina serentak berahinya dalam waktu yang sama. Selanjutnya ternak-ternak tersebut dapat diinseminasi secara bersama-sama sehingga dapat diprediksi waktu kelahiran yang bersamaan. Sistem ini dapat dipakai dalam perencanaan kelahiran anak dan pemasaran ternak di masa depan. Metode sinkronisasi berahi dapat dilakukan dengan menggunakan preparat hormon seperti prostaglandin dan progesteron. Prostaglandin F2α (PGF-2α) bersifat luteolitik yang berperan untuk meregresikan corpus luteum (CL), mengakibatkan penghambatan yang dilakukan hormon progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap gonadotropin menjadi hilang. Akibat yang ditimbulkannya dalah terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel dalam ovarium. Toelihere (1995) menyatakan bahwa efek pemberian PGF-2α akan menurunkan level progesteron dan akan memberikan rebound effect terhadap pelepasan hormon gonadotropin (FSH = follicle stimulating hormone dan LH = luteinizing hormone, Dengan teknik ini permasalahan deteksi berahi dapat dieliminir, sehingga pelaksanaan inseminasi buatan dapat dioptimalisasi. Usaha ini bertujuan untuk mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien sehingga mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok ternak, serta mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi buatan, mengurangi waktu dan memudahkan observasi deteksi berahi, dapat menentukan jadwal kelahiran yang diharapkan, menurunkan usia pubertas pada sapi dara, penghematan dan efisiensi tenaga kerja inseminator karena dapat mengawinkan ternak pada suatu daerah pada saat yang bersamaan.
Kesuksesan program sinkronisasi membutuhkan pengetahuan mengenai siklus berahi. Hari ke-0 dari merupakan hari pertama estrus, pada saat ini biasanya perkawinan secara alami terjadi. Hormon estrogen mencapai puncaknya pada hari ke-1 dan kemudian menurun, level progesteron rendah karena Corpus Luteum (CL) belum terbentuk. Ovulasi terjadi 12-16 jam setelah akhir standing estrus. CL yang menghasilkan hormon progesteron terbentuk pada tempat ovulasi dan secara cepat mengalami pertumbuhan mulai dari hari ke-4 sampai ke-7, pertumbuhan ini diikuti dengan peningkatan level progesteron. Mulai hari ke-7 sampai ke-16, CL menghasilkan progesteron dalam level tinggi.
Selama periode ini, 1 atau 2 folikel mungkin menjadi besar, tetapi dalam waktu yang singkat akan mengalami regresi, kira-kira hari ke-16, prostaglandin dilepaskan dari uterus dan menyebabkan level progesteron menjadi turun. Ketika level progesteron menurun, level estrogen meningkat dan folikel baru mulai tumbuh, estrogen mencapai puncaknya pada hari ke-20, diikuti tingkah laku estrus pada hari ke-21. Pada saat ini siklus estrus kembali dimulai.
Proses sinkronisasi dengan menggunakan preparat prostaglandin (PGF2α) akan menyebabkan regresi CL akibat luteolitik, secara alami prostaglandin (PGF2α) dilepaskan oleh uterus hewan yang tidak bunting pada hari ke-16 sampai ke-18 siklus yang berfungsi untuk melisiskan CL. Timbulnya berahi akibat pemberian PGF2α disebabkan lisisnya CL oleh kerja vasokontriksi PGF2α sehingga aliran darah menuju CL menurun secara drastis, akibatnya kadar progesteron yang dihasilkan CL dalam darah menurun, penurunan kadar progesteron ini akan merangsang hipofisa anterior melepaskan FSH dan LH, kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala berahi. Kerja hormon estrogen adalah untuk meningkatkan sensitivitas organ kelamin betina yang ditandai dengan perubahan pada vulva dan keluarnya lendir transparan.
Prosedur Sinkronisasi berahi seperti pada sapi, paling umum menggunakan prostaglandin. Cara standar sinkronisasi berahi meliputi 2 kali penyuntikan prostaglandin dengan selang 10-12 hari. Berahi akan terjadi dalam waktu 72-96 jam setelah penyuntikan kedua.  Pelaksanaan inseminasi dilakukan 12 jam setelah kelihatan berahi, atau sekali pada 80 jam setelah penyuntikan kedua. Prosedur yang digunakan adalah: Ternak yang diketahui mempunyai corpus luteum (CL), dilakukan penyuntikan PGF2α satu kali. Berahi biasanya timbul 48 sampai 96 jam setelah penyuntikan. Apabila tanpa memperhatikan ada tidaknya CL, penyuntikan PGF2α dilakukan dua kali selang waktu 11-12 hari. Setelah itu dilakukan pengamatan timbul tidaknya berahi 36-72 jam setelah peyuntikan kedua. Pemberian PGF2α analog dapat menyebabkan luteolisis melalui penyempitan vena ovarica yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam ovarium. Berkurangnya aliran darah ini menyebabkan regresi sel-sel luteal. Regresi sel-sel luteal menyebabkan produksi progesteron menurun menuju kadar basal, dimana saat-saat terjadinya gejala berahi. Regresi korpus luteum menyebabkan penurunan produksi progesteron (Husnurrizal. 2008).
            Penyerentakan estrus dan ovulasi  pada hewan betina untuk mempertinggi kemungkinan pertemuan ovum dengan sperma dalam proses pembuahan untuk memulai proses pertumbuhan dan perkembangan individu baru. Sinkronisasi estrus dan ovulasi perlu karena umur ovum sesudah ovulasi dan sperma yang sudah di tempatkan ke dalam saluran ke dalam saluran kelamin betina sangat terbatas untuk untuk beberapa jam, dimana ovum harus mengalami maturasi dan sperma mampu mencapai kapasitas untuk terjadinya pembuahan.
            Pentingnya sinkronisasi berahi dan ovulasi terutama untuk mendapatkan waktu yang tepat untuk inseminasi (IB). waktu yang tepat untuk IB adalah saat di mana sel telur (oosit) yang ovulasi siap untuk inseminasi dan sperma dalam saluran reproduksi betina telah berkapasitas dan matang. Menurut Marawali, dkk.(2001), oosit sapi yang di ovulasikan dan siap di IB setelah 10-12 jam di dalam saluran reproduksi (oviduct). Kapasitas terbaik untuk IB setalah 10-12 jam di dalam saluran reproduksi (oviduct). Kapasitas terbaik untuk IB adalah 2-3 jam setelah ovulasi. Dalam saluran reproduksi betina, spermatozoa membutuhkan waktu 6 jam untuk proses kapasitas 12-18 jam setelah akuisisi. Saat tampak berahi selama 18 jam dan ovulasi 12 jam setelah berahi berakhir. Jadi waktu IB yang tepat untuk di lakukan adalah 6-8 jam sebelum berahi berakhir sampai 6 jam setelah berahi berakhir.
Protokol Ovsynch
Prinsip dasar dari sinkronisasi ovulasi adalah memanipulasi fenomena siklus estrus, baik dengan cara menghambat sekresi LH atau memperpendek masa hidup corpus luteum yang berdampak dimulainya awal berahi dan ovulasi. Keuntungan dari sinkronisasi ovulasi adalah waktu tepat ovulasi dapat ditentukan sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi estrus, tingkat keberhasilan dari inseminasi buatan (IB) dapat ditingkatkan, mensinkronkan waktu kawin yang berdampak waktu ovulasi dan waktu melahirkan induk bersamaan (Hafez, 2000). Sinkronisasi ovulasi mempunyai potensi dalam memperpendek musim kelahiran, meningkatkan keseragaman umur pedet, dan mempertinggi kemungkinan penggunaan IB (Larson dkk.,2006).
Protokol ovsynch adalah salah satu protokol sinkronisasi ovulasi dengan menggunakan kombinasi hormon GnRH dan PGF2α. Pada protokol ovsynch , hari ke-0 diberi injeksi GnRH untuk ovulasi folikel dan memulai gelombang folikel baru. Hari ke-7 diberi injeksi PGF2α untuk regresi CL. Hari ke-9 diberi injeksi GnRH untuk ovulasi folikel . Hari ke-10, Inseminasi Buatan dilakukan 12-16 jam setelah injeksi GnRH kedua (Pursley dkk .,1997).
Ketika diinjeksi GnRH pada hari nol dari protokol ovsynch tetapi kondisi ovarium sapi tidak diketahui, maka GnRH akan memicu pelepasan LH yang menyebabkan ovulasi dan memulai siklus lagi jika pada saat itu ovarium memiliki folikel matang. Jika ada CL, GnRH akan memicu pelepasan FSH yang menciptakan kelompok baru folikel kemudian jika sapi baru saja ovulasi dalam 4-5 hari, GnRH tidak akan berfungsi  (Anonim, 2006).
Adapun penggunaan hormon dalam melakukan sinkronisasi berahi adalah :
Progesteron
Progesteron dapat juga disebut P4 merupakan hormon steroid yang terlibat dalam siklus estrus betina. Progesteron merupakan hormon yang diproduksi dan dilepaskan ke dalam darah oleh corpus luteum pada ovarium. Corpus luteum (CL) terbentuk setelah folikel telah mengalami ovulasi. Pada saat estrus, konsentrasi hormon ini rendah dan mulai berkembang setelah ovulasi. Pada saat sapi dibuahi dan bunting, progesteron dalam darah tetap tinggi sampai menjelang partus. Bila sapi tidak konsepsi, maka CL akan mulai berdegenerasi kira-kira hari ke-17 dari siklus estrus dan progesteron akan menurun sampai konsentrasi minimalnya pada hari ke 20-23 pada saat sapi kembali estrus (Anonim 2011).
Fungsi progesteron sulit dipisahkan dari hormon-hormon lain seperti esterogen. Progesteron secara normal bekerjasama dengan esterogen dan hanya menghasilkan sedikit pengaruh khusus bila bekerja sendiri. Progesteron menstimulasi pertumbuhan sistem glanduler pada endometrium uterus yang telah disensitifkan terlebih dahulu oleh esterogen. Progesteron mempertahankan kebuntingan dengan menghasilkan suatu lingkungan endometrial yang sesuai untuk kelanjutan hidup dan perkembangan embrio. Progesteron menghambat produksi FSH dan LH, sehingga mencegah terjadinya estrus, ovulasi dan siklus estrus. Progesteron bekerjasama dengan esterogen menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan sistem alveolar kelenjar mamae (Toelihere, 1979).
Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)
GnRH merupakan suatu dekadeptida (10 asam amino) dengan berat molekul 1183 dalton. Hormon ini menstimulasi sekresi follicle stimulating hormon (FSH) dan Lutinizing Hormone (LH) dari hipofisis anterior (Salisbury dan vandemark, 1985). Pemberian GnRH meningkatkan FSH dan LH dalam sirkulasi darah selama 2 sampai 4 jam (Chenault dkk .,1990). Secara alamiah, terjadinya level tertinggi (surge) LH yang menyebabkan ovulasi merupakan hasil kontrol umpan balik positif dari sekresi estrogen dari folikel yang sedang berkembang. Berikut ini adalah mekanisme kerja GnRH. Hipotalamus akan mensekresi GnRH, kemudian GnRH akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensekresi FSH dan LH. FSH bekerja pada tahap awal perkembangan folikel dan dibutuhkan untuk pembentukan folikel antrum. FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen. Menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrohen mencapai suatu tingkatan yang cukup tinggi untuk menekan produksi FSH dan dengan pelepasan LH menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan terbentuk korpus luteum dan ketika tidak bunting maka PGF2α dari uterus akan melisiskan korpus luteum. Tetapi jika terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk menjaga kebuntingan (Adnan dan Ramdja, 1986).
Prostaglandin (PGF2α)
Prostaglandin adalah senyawa C20 dengan satu cincin siklopenta yang mirip derivate asam lemak tak jenuh seperti arakidonat (Widianto, 1991). Nama prostaglandin diberikan oleh Von Euler karena ia berpendapat bahwa zat ini dihasilkan oleh kelenjar prostat manusia. Prostaglandin mempunyai implikasi pada pelepasan gonadotropin, ovulasi, regresi CL, motilitas uterus dan motilitas spermatozoa (Djajosoebagio, 1990).
PGF2α bersifat luteolitik sehingga mampu menginduksi terjadinya regresi CL yang mengakibatkan estrus, akan tetapi mekanisme yang sebenarnya belum diketahui dengan pasti walaupun salah satu dari postulat-postulat yang ada menyatakan bahwa efek vasokonstriksi dari PGF2α dapat menyebabkan luteolisis. Beberapa hipotesis tentang bagaimana kerja PGF2α dalam melisiskan CL yaitu :(1) PGF2α langsung berpengaruh kepada hipofisis, (2) PGF2α menginduksi luteolisis melalui uterus dengan jalan menstimulir kontraksi uterus sehingga dilepaskan luteolisis uterin endogen, (3) PGF2α langsung bekerja sebagai racun terhadap sel-sel CL, (4) PGF2α bersifat sebagai antigonadotropin, baik dalam aliran darah maupun reseptor pada CL, dan (5) PGF2α mempengaruhi aliran darah ke ovarium (Solihati, 2005). PGF2α hanya efektif bila ada korpus luteum yang berkembang, antara hari 7 sampai 18 dari siklus estrus ( Putro, 2008 ).
Metode sinkronisasi yang didasarkan pada sinkronisasi akhir fase luteal, yaitu dengan menggunakan PGF2α dan analognya atau pemberian progesteron eksogen, menyebabkan waktu yang diperlukan untuk pematangan folikuler dan ovulasi cenderung tidak konsisten diantara individu ternak. Hal ini menyebabkan variasi fertilitas yang dikaitkan dengan keberadaan gelombang folikuler saat perlakuan dimulai. Angka kebuntingan menurun sejalan dengan keberadaan folikel dominan (FD) persisten. Angka kebuntingan mulai menurun sejak folikel dominan menetap selama empat sampai delapan hari dan terus menurun jika keberadaannya dipertahankan selama 10 hari. Sinkronisasi estrus dengan menggunakan PGF2α yang diberikan secara intramuscular sekali pada fase luteal atau dua kali berselang sebelas hari tanpa melihat siklus estrus, hasilnya bervariasi antara 75% sampai 100%, yaitu 78%, 82% , 86,7%, 87% dan 100%. Penggunaan PGF2α secara intramuskular yang dikombinasikan dengan progesteron intravaginal (CIDR) menghasilkan persentase estrus 100% dan angka kebuntingan 71,4% (Solihati, 2005).
Controlled Internal Drug Release (CIDR)
Controlled Internal Drug Release merupakan alat yang terbuat dari sebatang silikon berbentuk huruf T dan mengandung 1,9 gram hormon progesteron untuk hewan besar (seperti sapi dan kerbau) dan 0,33 gram hormon progesteron untuk hewan kecil (seperti kambing dan domba). Keuntungan penggunaan alat ini adalah untuk mengontrol siklus berahi, mengatasi problem fertilitas seperti anovulatory anoestrus (ternak yang tidak bersiklus) dan ovarium yang sistik, serta untuk program seleksi dan transfer embrio (Tambing dkk, 2000).
Mekanisme kerja dari alat ini, yaitu alat ini dimasukkan dan didiamkan dalam vagina selama beberapa hari, selanjutnya progesteron yang terdapat di dalam alat ini akan diserap oleh vagina dan segera disekresikan ke dalam aliran darah yang akan menghambat pelepasan FSH dan LH dari adenohipofisis melalui mekanisme umpan balik negatif. Kadar progesteron dalam darah akan meningkat pada saat alat disisipkan dalam vagina dan tetap stabil dipertahankan selama periode penyisipan alat ini. Setelah alat ini dicabut terjadi penurunan progesteron secara mendadak dan mencapai level basal sehingga terjadi feedback positif pada hipotalamus untuk melepaskan GnRH yang akhirnya terjadi pelepasan hormon FSH dan LH dari adenohipofisis dan akan terjadi pematangan folikel, berahi dan ovulasi (Tambing dkk, 2000). CIDR memberikan fertilitas terbaik bila diinsersikan selama 7 sampai 10 hari ( Putro, 2008). Pada gambar diatas pemasangan CIDR di vagina dilakukan pada hari ke-0. Setelah selang 7 hari CIDR dicabut, tetapi 24 jam sebelum pencabutan CIDR di injeksi PGF2α untuk melisiskan korpus luteum yang tersisa, sehingga akan lebih meminimumkan kadar progesteron setelah CIDR dicabut, sebagai akibatnya proses estrus dan ovulasi akan menjadi lebih baik ( Putro, 2008).








                Beberapa penelitian menunjukkan keberagaman tingkat konsepsi berahi pada sapi perah  dara ( heifer)  seperti yang di gambarkan pada Tabel 1.
Tabel 1.  Konsepsi Berahi Terhadap Beberapa Referensi  Penggunaan Hormon
Referensi                            Protokol Sinkronisasi                         Angka Konsepsi (%)
Dailey dkk. 1983                PGF2α + EB                                        29.7 sampai 53.0
Tanabe dan hann                Single PGF2α                                       76.0
Schmit dkk. 1996               Ovsynch 1/TAI                                     25.8
                                           Ovsynch 1 +AIE                                  48.7
                                           Ovsynch 2/TAI                                     45.5
                                           Ovsynch 2+AIE                                   48.0
                                           Ovsynch 3/TAI                                    52.9
                                           Ovsynch 3 +AIE                                 56.1
Pursley dkk. 1997               Ovsynch                                              35.1
Moreira dkk. 2000             Ovsynch /TAI                                     37.5
Peeler dkk. 2004                         CIDR-ECP                                         63.0
                                           CIDR-GnRH                                      57.1
Rivera dkk. 2004               Ovsynch /TAI                                     38.2
                                           Ovsynch +TC 4 /TAI                          46.5
Rivera dkk. 2005               Ovsynch /TAI                                     29.1
                                           Ovsynch +CIDR/TAI                         31.9
Tenhagen  dkk. 2005         Selec synch                                         49.0 sampai 66.0
                                           IVD-7-EB                                           38.8
Cavalieri dkk. 2007            IVD-8-EB                                           43.5
                                           Heatsynch                                           36.0
Yusuf dkk 2010                 CIDR-Heatsynch                                44.0
            Parsley dkk. (1997) menyatakan bahwa kemampuan untuk mencapai kesuburan diterima setelah Inseminasi Buatan bisa berdampak besar pada manajemen reproduksi sapi perah, ternak yang disinkronkan ovulasi akan memungkinkan kontrol lebih dalam pada program-program inseminasi buatan dan menghilangkan ketergantungan pada deteksi estrus sebelum inseminasi buatan. Sinkronisasi ovulasi dengan GnRH dan PGF2a menyediakan cara yang efektif untuk mengelola reproduksi dalam laktasi sapi perah namun proyokol ini bukan merupakan metode synchronizasi efektif untuk sapi perah dara (Heifers).
            Angka konsepsi tarif pada sapi perah dara yang disinkronisasi berahi berkisar dari 25% sampai 76% (Tanabe dan Hann 1984: Schmitt dkk 1996.). Sedikit informasi mengenai proporsi sapi perah darah (Heifer) yang mengalami kematian embrio dini. Selanjutnya, proporsi sapi perah dara yang mengalami kematian embrio berkisar 40-90 hari umur kehamilan dan lebih kecil dari previously dalam laktasi sapi perah (santos dkk. 2001: chebel et al 2004; chebel dkk.2006).
Pada dasarnya, untuk mencapai angka konsepsi yang tinggi, sapi perah dara perlu mendapatkan berat badan dan kondisi tubuh yang memadai pada saat proses pertumbuhan (Fricke 2009),  lebih selanjutnya di perjelas oleh Chebel dkk  (2007) menyimpulkan bahwa berat badan pada sapi perah yang di inisiasi program manajemen pemeliharaan tidak berkorelasi dengan tingkat konsepsi, hal ini berhubungan dengan deteksi estrus rate exposure dalam ke adaan stres , pada keadaan dingin  jika dikaitkan dengan tingkat konsepsi berkurang dan meningkatkan kerugian janin. lebih lanjut, jika sapi perah dara terkena dingin akan mengalami stres di sekitar tempat pemeliharaan program pemuliaan yang di inseminasi dan menjadi hamil pada tingkat lebih lambat dari mereka yang tidak terkena udara tempratures service Sire ekstrim yang sangat berpengaruh terhadap laju konsepsi setelah inseminasi pertama namun tidak berhubungan dengan kehilangan kehamilan. Jika managemen pemeliharaan pada sapi perah dara baik maka akan mengoptimalkan berat badan yang dapat meningkatkan tingkat deteksi estrus. lebih lanjut, meminimalkan efek stres dingin pada sapi perah dara dapat mengakibatkan kinerja reproduksi meningkat.
Tenhagen dkk. (2005) melaporkan bahwa pemberian ganda pada hormon untuk menghasilkan estrus pada sonkronisasi sapi perah dara yang di inseminasi buatan setelah sinkronisasi dengan protokol GP sangat efektif untuk mendapatkan kehamilan. Pengaruh inseminator pada tingkat kehamilan per inseminasi buatan (PR / AI) dari sapi perah darah juga merupakan salah satu asfek untuk keberhasilan kebuntingan sapi perah dara  (Rivera dkk. 2004). Tahap siklus estrus di mana pengaruh synchronisasi dimulai dengan tanggapan reproduksi melalui protokol inseminasi buatan timed (Ovsynch / TAI) (Moreira dkk  2000.). interpretasi hasil yang diperoleh mengarah pada hipotesis mereka bahwa tahap siklus yang tampaknya paling tepat untuk menghasilkan angka kehamilan yang lebih besar adalah ke ovsynch / protokol TAI adalah fase luteal dini (yakni antara  5 dan 10 dari siklus estrus ). Peeler dkk. (2004) melaporkan bahwa waktu inseminasi nyata dipengaruhi (P <0,05) PR untuk sapi perah dara dalam kelompok perlakuan CIDR-ECP. Pada  kelompok perlakuan CIDR-ECP yang diinseminasi 56 jam setelah pencabutan CIDR memiliki PR lebih tinggi (81,0%) dibandingkan dengan sapi perah dara yang di inseminasi pada 48 jam (66,7%) atau 72 jam (50,0%) setelah CIDR mendapatkan PR heihhest dengan TAI, penggunaan insert CIDR dan ECP 24 jam setelah penghapusan CIDR dianjurkan, dengan AI terjadi sekitar 52 jam setelah pencabutan CIDR atau 32 jam setelah pemberian ECP.
Protokol yang berbeda pada sinkronisasi estrus juga disebabkan tingkat konsepsi yang berbeda (Schmitt dkk. 1996). Studi mereka menunjukkan bahwa penurunan angka konsepsi terdeteksi di tiga percobaan bisa disebabkan kegagalan ovulasi. Namun, beberapa laporan (Pursley dkk. 1994; silcox dkk  1995) menunjukkan bahwa penyuntikan kedua agonis GnRH menegaskan bahwa ovulasi terjadi 24-32 jam setelah injeksi agonis GnRH kedua (diberikan 24 atau 48 setelah pemberian PGF2α pada sapi). Selain itu, penundaan suntikan ovulasi dari agonis GnRH atau HCG sampai 48 jam setelah PGF2α mengurangi kejadian siklus estrus yang pendek dan kehamilan ditingkatkan paparan yang lebih besar untuk aktivitas LH-seperti melalui suntikan hCG menghilangkan frekuensi yang lebih besar siklus dipersingkat, mungkin karena luteinisasi lebih besar dan diferensiasi folikel ovulasi dibandingkan dengan yang disebabkan oleh suatu agonis GnRH, mereka menyatakan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah keuntungan dari hCG dalam Heifers dapat digunakan untuk mengurangi interval untuk hCG injeksi untuk 36 jam setelah PGF2α ini akan mengizinkan inseminasi buatan pada waktunya untuk semua sapi perah dara tanpa perlu deteksi estrus, dan deteksi kebutuhan estrus bisa dihilangkan dari program manajemen reproduksi (Pursley dkk. 1997).
Efisiensi reproduksi adalah produk deteksi estrus pada angka konsepsi (Macmillan 1992, Schmit dkk. 1996). sehingga memaksimalkan tingkat deteksi estrus yang berpengaruh pada peningkatan kehamilan secara keseluruhan, estrus merupakan konsekuensi dari pertumbuhan folikel terkoordinasi dan sekresi estradiol meningkat ditambah dengan luteolysis (Chenault dkk. 1975, 1976), penggunaan suntikan agonis GnRH diikuti kemudian oleh suntikan PGF2a (Thatcher dkk 1989;. wolfenso dkk 1994.) telah digunakan secara efektif untuk sinkronisasi estrus. Protokol ini menggabungkan sinkronisasi pertumbuhan folikel dan sekresi estradiol dengan luteolysis secara berurutan dan memberikan kontribusi untuk yang lebih besar dalam waktu perilaku estrus (Thatcher dkk 1989; Wolfenso dkk 1994.) dibandingkan dengan protokol sinkronisasi berdasarkan penggunaan PGF2α saja. Suntikan agonis GnRH dapat menginduksi ovulasi dari folikel (Roche 1975; Pursley dkk 1995) dan, bila digunakan setelah sinkronisasi pertumbuhan folikel dan korpus luteum (CL) regresi, ovulasi program harus memungkinkan inseminasi buatan pada waktu tepat sehingga menghasilkan kebuntingan.







KESIMPULAN
            Berdasarkan hasil diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa angka konsepsi ternak perah sapi darah ( heifer) dalam menunjukkan berahinya berbeda sesuai dengan penggunaan hormon yang di gunakan. Hal ini di sebabkan karna organ reproduksi yang kurang normal dan kondisi sapi yang masih dara dalam tahap pertumbuhan.












DAFTAR PUSTAKA
Adnan, A. dan Ramdja , M. 1986. Fisio Patologi Ovarium Sapi Dan Aktivitas    Hormonalnya. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Anonim, 2005. Statistik Peternakan Tahun 2005. Dinas peternakan, propinsi sulawesi selatan
Anonim, 2006. Reproductive Physiology And Endocrinology- Artificial Insemination. http//www.aqha.com
Anonim, 2011. Teknik Sinkronisasi Estrus Pada Sapi. www.dokterhewanku.com
Burke, J.M.,R.L. de la Sota, C.R. Staples, E.J.P. Schmitt, and W.W. Thacther. 1996. Evaluation Of Timed Insemination Using Gonadotroping-Realising Hormene Agonist In Lactating Dairy Cows. J. Dairy.
Chenault, J. R., W. W. Thatcher, P. S. Kalra, R. M. Abrams, and C. J. Wilcox. 1975. Transitory Changes In Plasma Progestins, Estradiol, And Luteinizing Hormone Approaching Ovulation In The Bovine. J. Dairy sci. 58:709.

Chenault, J. R., w. W. Thatcher, p. S. Kalra, P. S. Abrams, and C. J. Wilcox. 1976. Plasma Progestins, Estradiol, And Luteinizing Hormone Following Prostaglandin PGF2α Injection. J. Dairy sci. 59:1342.

Chenault, J. R., D.D Kratser, R.A Rzepkowski, and M.C. Goodwin. 1990. LH and FSH response of Holstein Heifer To Fertirelin Acetate, Gonadrelin And Buserin. Theriogenology.

Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi Kelenjar endokrin Volume II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen. Dikti. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB.
Fricke, P. M., J. N. Guenther, and M. C. Wiltbank. 1998. Effect Of Decreasing The Dose Of Gnrh Used In A Protocol For Synchronization Of Ovulation And Timed Ai In Lactating Dairy Cows. Theriogenology 50:1275–1284

Hafez  E.S.E. and Hafez, B. 2000. Reproduction In Farm Animal. 7th edition . Leafebiger. Philadelphia
Husnurrizal. 2008. Sinkronisasi Birahi Dengan Preparat Hormon Prostaglandin (PGF2α). Lab. Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. (http://www.foxitsoftware.com).
Larson, J.E., G.C. Lamb, J.S. Stevenso, S.K. Johnson, M.L. day, T.W Geary, D.J.kesler, J.M. Dejarnette, F.N Schrick, A. DiCoztanzo and J.D. Arseneau. 2006. Synchronization Of Estrus In Sucled Beef Cows For Detected Estrous And Artificial Insemination Using Gonadotroping-Releasing Hormone, Prostaglandin F2α, And Progesteron. J. Anim
Macmillan KL, Peterson AJ, 1993: A New Intravaginal Progesterone Releasing Aid For Cattle (CIDR-B) For Oestrous Synchronization, Increasing Pregnancy Rates And The Treatment Of Post-Partum Anoestrus. Anim Reprod Sci 33, 1–25.

Marawali,A. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Reproduksi Ternak. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat  Pendidikan Tinggi Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur. Jakarta
Moreira F, de la Sota RL, Diaz T, Thatcher WW, 2000: Effect Of Day Of The Estrous Cycle At The Initiation Of A Timed Artificial Insemination Protocol On Reproductive Responses In Dairy Heifers. J Anim Sci 78, 1568–1576.

Partodiharjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.

Pursley JR, Wiltbank MC, Stevenson JS, Ottobre JS, Garverick HA, Anderson LL, 1997: Pregnancy Rates Per Artificial Insemination For Cows And Heifers Inseminated At A Synchronized Ovulation Or Synchronized Estrus. J Dairy Sci 80, 295–300.

Pursley JR, Mee MO, Wiltbank MC, 1995: Synchronization Of Ovulation In Dairy Cows Using Pgf2a And Gnrh. Theriogenology 44, 915–923.

Pursley, J. R., M. O. Mee, M. D. Brown, and M. C. Wiltbank. 1994. Synchronization Of Ovulation In Dairy Cattle Using GnRH and PGF2a. J. Anim. Sci. 72(Suppl. 1):230.

Putro, P., P. 2008. Teknik Sinkronisasi Estrus Pada Sapi. Bagian Reproduksi dan Obstetri. Universitas Gadjah Mada.santos et al.2001: chebel et al 2004; chebel et al.2006).
Rivera H, Lopez H, Fricke PM, 2004: Fertility of Holstein Dairy Heifers After Synchronization Of Ovulation And Timed Ai Or Ai After Removed Tail Chalk. J Dairy Sci 87, 2051– 2061.

Roche, J. F. 1975. Control Of The Time Of Ovulation In Heifers Treated With Progesterone And Gonadotrophin-Releasing Hormone. J. Reprod. Fertil. 43:471.

Salisbury, R.E dan W.L. vandemark, 1985. Fisiologi Reproduksi Dan Inseminasi Buatan Pada Sapi. Edisi terjemahan oleh R.Djanuar. Gadja Mada University Press, Yogyakarta.
Schmitt Eˇ JP, Diaz T, Drost M, Thatcher WW, 1996: Use Of A Gonadotropin-Releasing Hormone Or Human Chorionic Gonadotropin For Timed Insemination In Cattle. J Anim Sci 74, 1084–1091.

Solihati, N. 2005. Pengaruh Metode Pemberian PGF2α Dalam Sinkronisasi Estrus Terhadap angka Kebuntingan Sapi Perah Anestrus. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran.
Tanabe dan Hann 1984: Synchronized Estrus and Subsequent Conception in Dairy Heifers Treated with Prostaglandin F2α. I. Influence of Stage of Cycle at Treatment. J. Anim
Tenhagen BA, Kuchenbuch S, Heuwieser W, 2005: Timing of Ovulation And Fertility Of Heifers After Synchronization Of Oestrus with GnRH and Prostaglandin F2a. Reprod Domest Anim 40, 62–67.

Thatcher, W. W., K. L. Macmillan, P. J. Hansen, and M. Drost. 1989. Concepts For The Regulation Of Corpus Luteum Function By The Conceptus And Ovarian Follicles To Improve Fertility. Theriogenology 31:149.

Toelihere. M.R. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung, Bandung
Toelihere. M.R. 1985. Fisiologi Reproduksi Ternak. Penerbit Angkasa Bandung, Bandung
Wolfenson, D., W. W. Thatcher, J. D. Savio, L. Badinga, and M. C.Lucy. 1994. The Effect Of A GnRH Analogue On The Dynamics Of Follicular Development And Synchronization Of Estrus In Lactatingdairy Cows. Theriogenology 42:633.