Monday, February 6, 2012

perbedaan protokol induksi berahi terhadap durasi estrus pada sapi perah

PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Sinjai merupakan salah satu Kabupaten yang berusaha mengembangkan sapi perah. Besarnya apresiasi dari pihak birokrasi dan masyarakat serta iklim yang mendukung untuk menjadikan Kabupaten Sinjai menjadi sentrum pengembangan sapi perah. Pengembangan sektor Peternakan di Kabupaten Sinjai mendapat perhatian dari Pemerintah, terbukti dengan ditetapkannya Kabupaten Sinjai dalam program Gerbang Mas sektor Peternakan. Kabupaten Sinjai memiliki iklim dan letak geografis yang menguntungkan. Disamping itu potensi lahan yang luas untuk pengembangan sektor ini masih luas dan tersedianya pakan yang melimpah merupakan salah satu indikator dipilihnya Kabupaten Sinjai dalam pengembangan program Gerbang mas di sektor Peternakan. Salah satu upaya dalam pengembangan ini yaitu pengembangan sapi perah, Pengemukan sapi potong, Pengembangan kambing bour. Dalam pengembangan sapi perah, dimulai pada tahun 2002, yang setiap tahunnya populasinya bertambah, awalnya hanya 73 ekor kini telah mencapai 199 ekor (Anonim, 2011a). Faktor keberhasilan sapi perah salah satunya tergantung pada penampilan reproduksi yang berhubungan dengan efisiensi reproduksi. Penampilan reproduksi yang baik akan menunjukkan nilai efisiensi reproduksi yang tinggi, sedangkan produktifitas yang masih rendah dapat diakibatkan oleh berbagai faktor terutama yang berkaitan dengan efesiensi reproduksi. Variabel yang berpengaruh seperti kekurangan pakan sehingga menyebabkan kurus yang berefek pada sulit birahi, atau birahi tapi tidak nyata (silent heat), atau ada birahi tetapi tidak terjadi ovulasi. Seandainya sapi ini mampu bunting, tetapi kemudian kekurangan pakan, maka kemungkinan besar akan terjadi keguguran (Putro, 2009). Lamanya berahi bervariasi pada tiap – tiap hewan dan antara individu dalam satu spesies. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh variasi-variasi sewaktu estrus, terutama pada sapi dengan periode berahinya yang terpendek di antara semua ternak mamalia. Berhentinya estrus sesudah perkawinan merupakan indikasi yang baik bahwa kebuntingan telah terjadi. Akan tetapi dapat juga terjadi pada 3 sampai 5 % sapi – sapi yang bunting selama 3 bulan pertama masa kebuntingan walaupun dapat terjadi dalam bulan–bulan yang lebih tua. (Achyadi, K. R., 2009). Lama estrus pada sapi sekitar 12-24 jam (Putro, 2008). Estrus pada sapi biasanya berlangsung selama 12 – 18 jam. Variasi terlihat antar individu selama siklus estrus, pada sapi-sapi di lingkungan panas mempunyai periode estrus yang lebih pendek sekitar 10-12 jam. Selama atau segera setelah periode ini, terjadilah ovulasi. Ini terjadi dengan penurunan tingkat FSH dalam darah dan penaikan tingkat LH. Sesaat sebelum ovulasi, folikel membesar dan turgid serta ovum yang ada di situ mengalami pemasakan. Estrus berakhir kira-kira pada saat pecahnya folikel ovari atau terjadinya ovulasi (Frandson, 1996). Rumusan Masalah Rendahnya efiesiensi reproduksi sapi perah disinyalir karena deteksi estrus yang kurang optimal yang disebabkan durasi estrus yang pendek, bahkan deteksi estrus yang sulit di temukan karena ternak sapi perah dikandangkan dengan melihat tanda-tanda berahi primer pada ternak. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan melihat durasi estrus dengan protokol berahi yang berbeda. Hipotesis Berdasarkan alur pada rumusan masalah di atas diduga bahwa rendahnya efisiensi reproduksi ternak sapi perah di Kabupaten Sinjai disebabkan oleh deteksi estrus yang kurang optimal yang disebabkan oleh durasi estrus yang berbeda pada tiap individu ternak khususnya pada ternak yang berdurasi estrus yang pendek. Tujuan dan Kegunaan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui pengaruh perbedaan protokol induksi berahi terhadap durasi estrus pada sapi perah di Kabupaten Sinjai. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan informasi bagi peneliti, peternak, dan masyarakat umum dalam upaya pengembangan ternak sapi perah terutama aspek reproduksi. TINJAUAN PUSTAKA A. Efisiensi Reproduksi Ternak Sapi Perah Dalam budidaya sapi potong maupun sapi perah, adanya penampilan reproduksi optimum merupakan hal yang paling menentukan keberhasilan produktivitasnya. Salah satu penampilan reproduksi optimum yang dimaksud adalah jarak melahirkan (calving interval) optimum dengan kisaran 12 – 15 bulan untuk kondisi peternakan rakyat di Indonesia. Hasil penampilan reproduksi optimum dapat dicapai bila program pengawinan (breeding) alami maupun penggunaan inseminasi buatan (IB) dilakukan dengan tepat saat setelah usia pubertas pada sapi dara atau segera setelah fase pasca melahirkan pada sapi induk. Sapi perah atau sapi potong diharapkan kawin kembali dalam waktu 2 – 3 bulan setelah melahirkan, sehingga sapi dapat bunting kembali dalam waktu 3 – 4 bulan pasca melahirkan. Kasus infertilitas yang menonjol pada sapi perah dan sapi potong rakyat di Indonesia adalah tingginya kejadian anestrus post partum (tidak berahi pasca melahirkan). Kejadian ini mengakibatkan terlambatnya kawin kembali pasca melahirkan, sehingga jarak melahirkan melebihi 18 bulan (Husnurrisal, 2008). Ukuran efesiensi reproduksi dalam usaha peternakan sangatlah penting, dengan adanya beberapa ukuran efesiensi reproduksi sapi perah berdasarkan penampilan reproduksi, periode kosong yaitu periode atau selang waktu sejak sapi beranak sampai dikawinkan kembali dan terjadi kelahiran, kawin pertama setelah beranak yaitu selang waktu sejak sapi beranak sampai dikawinkan kembali, jumlah kawin pada setiap kelahiran yaitu berapa kali sapi dikawinkan sampai terjadi kelahiran. Lama bunting yaitu selang waktu sejak sapi dikawinkan dan terjadi kelahiran sampai sapi beranak. B. Deskripsi Siklus Berahi Siklus berahi pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan spesies. Siklus berahi pada sapi berkisar antara 18-22 hari (Partodiharjo, 1992). Interval antara timbulnya satu periode berahi ke permulaan periode berikutnya disebut sebagai suatu siklus berahi. Siklus berahi pada dasarnya dibagi menjadi 4 fase atau periode yaitu proestrus, estrus, meteestrus, dan diestrus (Hafez, 2000; Marawali, dkk., 2001; Sonjaya, 2005). Berdasarkan perubahan-perubahan dalam ovaria siklus estrus dapat dibedakan pula menjadi 2 fase, yaitu fase folikel, meliputi proestrus, estrus serta awal metestrus, dan fase lutea, meliputi akhir metestrus dan diestrus. Fase 1. Proestrus (prestanding events). Fase ini hanya berlangsung 1 - 2 hari. Betina berperilaku seksual seperti jantan, berusaha menaiki teman-temannya (homoseksualitas), menjadi gelisah, agresif, dan mungkin akan menanduk, melenguh, mulai mengeluarkan lendir bening dari vulva, serta vulva mulai membengkak. Fase 2. Estrus (Standing Heat). Pada fase ini hewan betina diam bila dinaiki oleh temannya atau standing position. Tetapi juga perlu diperhatikan hal lain seperti seringkali melenguh, gelisah, mencoba untuk menaiki teman-temannya. Sapi betina menjadi lebih jinak dari biasanya. Vulva bengkak, keluar lendir vulva jernih, mukosa terlihat lebih merah dan hangat apabila diraba. Fase 3. Metestrus (Pasca Birahi). Periode ini berlangsung selama 3 - 4 hari setelah birahi, sedikit darah mungkin keluar dari vulva induk atau dara beberapa jam setelah standing heat berakhir. Biasanya 85% dari periode birahi pada sapi dara dan 50% pada sapi induk berakhir dengan keluarnya darah dari vulva (untuk cek silang saat mengawinkan inseminasi harus sudah dilakukan 12-24 jam sebelum keluarnya darah). Keadaan ini disebut perdarahan metestrus (metestrual bleeding), ditandai dengan keluarnya darah segar bercampur lendir dari vulva dalam jumlah sedikit beberapa hari setelah birahi. Perdarahan ini biasanya akan berhenti sendiri setelah beberapa saat. Yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua siklus birahi pada sapi berakhir dengan keluarnya darah. Keluarnya darah tidak selalu berarti ovulasi telah terjadi dan tidak selalu menunjukkan bahwa bila diinseminasi ternak akan bunting atau tidak. Keluarnya darah hanya akan menunjukkan bahwa ternak telah melewati siklus birahi. Fase 4. Diestrus. Berlangsung selama 12 - 18 hari setelah periode metestrus sampai periode proestrus berikutnya dan alat reproduksi praktis ”tidak aktif” selama periode ini karena di bawah pengaruh hormon progesteron dari korpus luteum. C. Gejala Berahi Pada Sapi Perah Suatu cara untuk mengatasi sulitnya mendeteksi berahi yaitu dengan cara penerapan teknis sinkronisasi berahi. Prinsip dasar dari sinkronisasi berahi adalah memanipulasi dari fenomena siklus berahi, baik dengan cara menghambat sekresi LH ataupun memperpendek masa hidup dari corpus luteum yang berujung pada berahi dan ovulasi. Keuntungan dari sinkronisasi berahi adalah ketepatan waktu ovulasi sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi berahi sehingga tingkat keberhasilan dari IB dapat ditingkatkan. Sinkronisasi berahi pada ternak dimaksudkan agar ternak-ternak betina serentak berahinya dalam waktu yang sama. Selanjutnya ternak-ternak tersebut dapat diinseminasi secara bersama-sama sehingga dapat diprediksi waktu kelahiran yang bersamaan. Sistem ini dapat dipakai dalam perencanaan kelahiran anak dan pemasaran ternak di masa depan. Metode sinkronisasi berahi dapat dilakukan dengan menggunakan preparat hormon seperti prostaglandin dan progesteron. Prostaglandin F2α (PGF-2α) bersifat luteolitik yang berperan untuk meregresikan corpus luteum (CL), mengakibatkan penghambatan yang dilakukan hormon progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap gonadotropin menjadi hilang. Akibat yang ditimbulkannya adalah terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel dalam ovarium. Toelihere (1995) menyatakan bahwa efek pemberian PGF-2α akan menurunkan level progesteron dan akan memberikan rebound effect terhadap pelepasan hormon gonadotropin (FSH = follicle stimulating hormone dan LH = luteinizing hormone, Dengan teknik ini permasalahan deteksi berahi dapat dieliminir, sehingga pelaksanaan inseminasi buatan dapat dioptimalisasi. Usaha ini bertujuan untuk mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien sehingga mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok ternak, serta mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi IB, mengurangi waktu dan memudahkan observasi deteksi berahi, dapat menentukan jadwal kelahiran yang diharapkan, menurunkan usia pubertas pada sapi dara, penghematan dan efisiensi tenaga kerja inseminator karena dapat mengawinkan ternak pada suatu daerah pada saat yang bersamaan. Birahi ternyata bertepatan dengan perkembangan maksimum folikel-folikel ovarium. Manifestasi psikologis birahi ditimbulkan oleh hormon seks betina, yaitu estrogen yang dihasilkan oleh folikel-folikel ovarium. Pada sapi betina seringkali terjadi birahi tenang semua fenomena histologis dan fisiologis yang normal dapat teramati, termasuk ovulasi tetapi respon untuk perkawinan tidak tampak, untuk beberapa individu, kebutuhan estrogen mungkin lebih besar dibanding yang lainnya dan birahi tenang mungkin disebabkan oleh kegagalan dalam mensekresi estrogen dalam jumlah yang cukup besar untuk menimbulkan respon perkawinan. Tanda-tanda sapi birahi antara lain vulva nampak lebih merah dari biasanya, bibir vulva nampak agak bengkak dan hangat, sapi nampak gelisah, ekornya seringkali diangkat bila sapi ada dipadang rumput sapi yang sedang birahi tidak suka merumput, kunci untuk menentukan yang mana diantara sapi-sapi yang saling menaiki tersebut birahi adalah sapi betina yang tetap tinggal diam saja apabila dinaiki dan apabila didalam kandang nafsu makannya jelas berkurang, pada sapi dewasa laktasi tidak jarang produksi susunya turun (Anonim, 2011c). D. Durasi Estrus Estrus didefinisikan sebagai periode waktu ketika betina resepsif terhadap jantan dan akan membiarkan untuk dikawini. Menurut Frandson (1996), fase estrus ditandai dengan sapi yang berusaha dinaiki oleh sapi pejantan, keluarnya cairan bening dari vulva dan peningkatan sirkulasi sehingga tampak merah. Tabel 1. Siklus Estrus Pada Sapi Karakteristik Keterangan Pubertas Proestrus Metestrus diestrus Anestrus Lama estrus Panjang siklus estrus Saat ovulasi Birahi setelah melahirkan 12 (8 – 18 bulan) 3-4 hari 2 hari 15 hari Sampai musim kawin (Mc.Donald,1969) 16 (6 – 20 jam) 21 (14 – 24 hari) 12 (2 – 26 jam) 35 (16 – 90 hari) (Widiyono, 2008). Lama estrus pada sapi sekitar 12-24 jam (Putro, 2008). Estrus pada sapi biasanya berlangsung selama 12 – 18 jam. Variasi terlihat antar individu selama siklus estrus, pada sapi-sapi di lingkungan panas mempunyai periode estrus yang lebih pendek sekitar 10-12 jam. Selama atau segera setelah periode ini, terjadilah ovulasi. Ini terjadi dengan penurunan tingkat FSH dalam darah dan penaikan tingkat LH. Sesaat sebelum ovulasi, folikel membesar dan turgid serta ovum yang ada di situ mengalami pemasakan. Estrus berakhir kira-kira pada saat pecahnya folikel ovari atau terjadinya ovulasi (Frandson, 1996). Lamanya berahi bervariasi pada tiap – tiap hewan dan antara individu dalam satu spesies. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh variasi-variasi sewaktu estrus, terutama pada sapi dengan periode berahinya yang terpendek di antara semua ternak mamalia. Berhentinya estrus sesudah perkawinan merupakan indikasi yang baik bahwa kebuntingan telah terjadi. Akan tetapi dapat juga terjadi pada 3 sampai 5 % sapi – sapi yang bunting selama 3 bulan pertama masa kebuntingan walaupun dapat terjadi dalam bulan–bulan yang lebih tua. (Achyadi, K. R., 2009). Lama siklus berahi pada sapi dikontrol oleh sekresi progesteron dan CL. Konsentrasi pogesteron akan meningkat setelah ovulasi dan mencapai konsentrasi maksimum pada hari ke 8-11 dalam siklus berahi. Tingginya konsentrasi progesteron akan menghambat sekresi GnRH. Pada ternak yang tidak bunting, di mana prostaglandin PGF2 disokong oksitosin yang disekresikan endometrium uterus, CL akan regresi dan konsentrasi progesteron menurun sampai 0,5 ng/ml dalam waktu 24 jam. Selama siklus berahi, CL merupakan struktur yang penting dalam hal ukuran dan lama terjadinya. Munculnya dan hilangnya CL bertanggung jawab terhadap fenomena siklus berahi (Sonjaya, 2005). Tabel 2. Lama Periode Siklus Berahi pada Ternak Ternak Proestrus (hari) Estrus (hari) Meteestrus (hari) Diestrus (hari) Sapi Kuda Babi Domba 3 3 3 2 12 – 24 jam 4 – 7 2 – 4 1 - 2 3 – 5 3 – 5 3 – 4 3 – 5 13 6 – 10 9 – 13 7 – 10 Sumber : Marawali, dkk., (2001). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lama Durasi Estrus. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi reproduksi antara lain pakan nutrisi yang terkandung di dalam ransum berpengaruh pada organ-organ reproduksi dan fungsi kelenjar-kelenjar yang memproduksi hormon. Manajemen atau tatalaksana sangatlah berpengaruh terhadap ternak sapi terhadap penyakit dan suhu udara dan musim sangat berpengaruh terhadap sifat reproduksi. (Anonim, 2011c). 1. Kekurangan Nutrisi Faktor nutrisi merupakan faktor yang lebih kritis, dalam arti baik pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung terhadap fenomena estrus dibanding faktor lainnya. Jadi, nutrisi yang cukup dapat mendorong proses biologis untuk mencapai potensi birahi, mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan yang tidak nyaman dan meminimalkan pengaruh-pengaruh dari teknik manajemen yang kurang baik. Nutrisi yang kurang baik tidak hanya akan mengurangi potensi genetiknya, tetapi juga memperbesar pengaruh negatif dari lingkungan. Disamping itu, faktor nutrisi lebih siap dimanipulasi untuk menjamin luaran produk yang positif dibanding faktor-faktor lainya. Oleh karena itu perlu mendapat perhatian yang serius terhadap interaksi antara nutrisi dan siklus estrus terutama di daerah tropika, yang disebabkan beberapa hal antara lain: ketidak-cukupan nutrisi dalam arti secara kuantitatif yaitu konsumsi pakan dan kualitatif yaitu ketidakseimbangan zat-zat nutrisi. Kegagalan memahami dengan baik interaksi ini untuk mengurangi dampak negatif dan memperbesar dampak positif akan berpengaruh buruk terhadap efisiensi estrus pada ternak. kelompok sapi betina tidak pernah dikeluarkan pada kandang terbuka, tidak mengenal baik tingkah laku birahi, kekurangan energi sapi banyak kekurangan zat nutrisi akibat produksi susu tinggi atau kekurangan pakan dan konsumsi bahan kering rendah (Achyadi, 2009). 2. Corpus Luteum Kegagalan memperlihatkan gejala birahi biasanya disebabkan karena sapi dengan corpus luteumnya yang fungsional dimana sapi bunting, corpus luteum yang persisten adanya kematian embrio dini, birahi lemah (sub estrus), birahi tenang (silent estrus) dan birahi yang tidak terobservasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sonjaya (2005) bahwa penyebab terlambatnya siklus birahi kembali setelah beranak adalah infeksi primer, trauma partus retentio secundinarum, ketidakseimbangan nutrisi, kurang gerak, stress laktasi, predisposisi keturunan, dan thyroid insufiensi. E. Sinkronisasi Ovulasi Sebagai Upaya Peningkatan Efisiensi Reproduksi Prinsip dasar dari sinkronisasi ovulasi adalah memanipulasi fenomena siklus berahi, baik dengan cara menghambat sekresi LH atau memperpendek masa hidup corpus luteum yang berdampak dimulainya awal berahi dan ovulasi. Keuntungan dari sinkronisasi ovulasi adalah waktu tepat ovulasi dapat ditentukan sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi berahi, tingkat keberhasilan dari inseminasi buatan dapat ditingkatkan, mensinkronkan waktu kawin yang berdampak waktu ovulasi dan waktu melahirkan induk bersamaan (Hafez and Hafez,. 2000). Sinkronisasi ovulasi mempunyai potensi dalam memperpendek musim kelahiran, meningkatkan keseragaman umur pedet, dan mempertinggi kemungkinan penggunaan IB. Penghambat utama dalam sinkronisasi berahi dan pencapaian kebuntingan optimum pada sapi potong menyusui adalah merangsang berahi setelah melahirkan (Larson, dkk, 2006). Sapi merupakan hewan poliestrus, setelah mencapai usia pubertas siklus estrus berlangsung secara terus menerus sepanjang tahun, kecuali pada saat hewan bunting, siklus estrusnya terhenti sementara. Panjang siklus estrus normal pada sapi induk 21 + 3 hari dan sapi dara 20 + 2 hari, walaupun ada sedikit variasi bangsa sapi. Kebanyakan bangsa sapi mempunyai rerata lama estrus 12 jam dengan variasi normal antara 8 sampai 16 jam. Waktu ovulasi pada sapi umumnya terjadi sekitar 12 jam dari akhir estrus. Salah satu aspek yang penting dalam meningkatkan efisiensi reproduksi ternak betina adalah peningkatan persentase berahi pada satu kawanan / populasi betina sehingga jumlah betina yang siap kawin jumlahnya meningkat, dan diharapkan dapat meningkatkan jumlah anak yang lahir per ekor induk per tahun. Berbagai metode telah banyak dilakukan di negara – negara yang sudah maju, baik hormonal misalnya penggunaan hormon gonadotropin eksogen : GnRH, hCG, immunisasi terhadap steroid, dll (Chenault, dkk, 1990; Schmitt, dkk, 1996;Fricke, dkk, 1993), maupun non hormonal (seleksi, perbaikan kualitas pakan, dll) untuk meningkatkan efisiensi reproduksi (Sansoucy, dkk, 1986). Efektifitas dan efisiensi metoda banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama bangsa ternak, musim dan kondisi fisiologis ternak itu sendiri. Perlakuan sinkronisasi diberikan untuk menentukan waktu IB (Pursley, dkk, 1997; Cerri, dkk, 2004). Perlakuan yang mengkombinasikan sinkronisasi menyebabkan kemunculan folikel ovarium, regresi corpus luteum, dan menyebabkan hasil ovulasi serupa atau rata – rata perkawinan yang agak rendah tetapi service rates yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan untuk sinkronisasi berahi (Pursley. dkk, 1997;Cartmill, dkk, 2001; Chebel, dkk., 2004; Tenhagen, dkk, 2004), perlakuan tersebut biasanya meningkatkan rata – rata kebuntingan pada sapi dengan rata – rata berahi yang dideteksi rendah (Cerri, dkk., 2004). F. Protokol Sinkronisasi Ovulasi 1. Ovsynch Prinsip dasar dari sinkronisasi ovulasi adalah memanipulasi fenomena siklus estrus, baik dengan cara menghambat sekresi LH atau memperpendek masa hidup corpus luteum yang berdampak dimulainya awal berahi dan ovulasi. Keuntungan dari sinkronisasi ovulasi adalah waktu tepat ovulasi dapat ditentukan sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi estrus, tingkat keberhasilan dari IB dapat ditingkatkan, mensinkronkan waktu kawin yang berdampak waktu ovulasi dan waktu melahirkan induk bersamaan (Hafez, 2000). Sinkronisasi ovulasi mempunyai potensi dalam memperpendek musim kelahiran, meningkatkan keseragaman umur pedet, dan mempertinggi kemungkinan penggunaan IB (Larson dkk.,2006). Protokol ovsynch adalah salah satu protokol sinkronisasi ovulasi dengan menggunakan kombinasi hormon GnRH dan PGF2α. Pada protokol ovsynch , hari ke-0 diberi injeksi GnRH untuk ovulasi folikel dan memulai gelombang folikel baru. Hari ke-7 diberi injeksi PGF2α untuk regresi CL. Hari ke-9 diberi injeksi GnRH untuk ovulasi folikel. Hari ke-10, Inseminasi Buatan dilakukan 12-16 jam setelah injeksi GnRH kedua (Pursley dkk .,1997). Ketika diinjeksi GnRH pada hari nol dari protokol ovsynch tetapi kondisi ovarium sapi tidak diketahui, maka GnRH akan memicu pelepasan LH yang menyebabkan ovulasi dan memulai siklus lagi jika pada saat itu ovarium memiliki folikel matang. Jika ada CL, GnRH akan memicu pelepasan FSH yang menciptakan kelompok baru folikel kemudian jika sapi baru saja ovulasi dalam 4-5 hari, GnRH tidak akan berfungsi (Anonim, 2006). 2. Progesteron Progesteron dapat juga disebut P4 merupakan hormon steroid yang terlibat dalam siklus estrus betina. P4 merupakan hormon yang diproduksi dan dilepaskan ke dalam darah oleh corpus luteum pada ovarium. Corpus luteum (CL) terbentuk setelah folikel telah mengalami ovulasi. Pada saat estrus, konsentrasi hormon ini rendah dan mulai berkembang setelah ovulasi. Pada saat sapi dibuahi dan bunting, progesteron dalam darah tetap tinggi sampai menjelang partus. Bila sapi tidak konsepsi, maka CL akan mulai berdegenerasi kira-kira hari ke-17 dari siklus estrus dan P4 akan menurun sampai konsentrasi minimalnya pada hari ke 20-23 pada saat sapi kembali estrus (Anonim, 2011b). Fungsi P4 sulit dipisahkan dari hormon-hormon lain seperti esterogen. P4 secara normal bekerjasama dengan esterogen dan hanya menghasilkan sedikit pengaruh khusus bila bekerja sendiri. P4 menstimuler pertumbuhan sistem glanduler pada endometrium uterus yang telah disensitifkan terlebih dahulu oleh esterogen. P4 mempertahankan kebuntingan dengan menghasilkan suatu lingkungan endometrial yang sesuai untuk kelanjutan hidup dan perkembangan embrio. P4 menghambat produksi FSH dan LH, sehingga mencegah terjadinya estrus, ovulasi dan siklus estrus. P4 bekerjasama dengan esterogen menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan sistem alveolar kelenjar mamae (Toelihere, 1979). Konsentrasi P4 dalam darah erat korelasinya dengan konsentrasinya dalam susu. P4 merupakan hormon steroid yang memiliki afinitas dengan lemak susu. P4 dalam susu ini lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan dengan didalam darah Hal ini dapat disebabkan karena daya larut dari P4 tersebut sebagai hormon steroid dan dikatakan juga bahwa sintesis P4 dalam jaringan mamae kambing dilakukan oleh suatu enzim (Anonim, 2011b ). P4 dapat digunakan sebagai test kebuntingan karena CL hadir selama awal kebuntingan pada semua spesies ternak. Level P4 dapat diukur dalam cairan biologis seperti darah dan susu, kadarnya menurun pada hewan yang tidak bunting. P4 rendah pada saat tidak bunting dan tinggi pada hewan yang bunting. Test pada susu lebih dianjurkan dari pada test pada darah, karena kadar P4 lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma darah. Lagi pula sampel susu mudah didapat saat memerah tanpa menimbulkan stress pada ternaknya. Sampel susu ditest menggunakan radio immuno assay (RIA). Sampel ini dikoleksi pada hari ke 22 – 24 setelah inseminasi. Teknik koleksi sample bervariasi namun lebih banyak diambil dari pemerahan sore hari. Bahan pengawet seperti potasium dichromate atau mercuris chloride ditambahkan untuk menghindari susu menjadi basi selama transportasi ke laboratorium. Metoda ini cukup akurat, tetapi relatif mahal, membutuhkan fasilitas laboratorium dan hasilnya harus menunggu beberapa hari. 3. Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) GnRH merupakan suatu dekadeptida (10 asam amino) dengan berat molekul 1183 dalton. Hormon ini menstimulasi sekresi follicle stimulating hormon (FSH) dan Lutinizing Hormone (LH) dari hipofisis anterior (Salisbury dan vandemark, 1985). Pemberian GnRH meningkatkan FSH dan LH dalam sirkulasi darah selama 2 sampai 4 jam (Chenault dkk .,1990). Secara alamiah, terjadinya level tertinggi (surge) LH yang menyebabkan ovulasi merupakan hasil kontrol umpan balik positif dari sekresi estrogen dari folikel yang sedang berkembang. Berikut ini adalah mekanisme kerja GnRH. Hipotalamus akan mensekresi GnRH, kemudian GnRH akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensekresi FSH dan LH. FSH bekerja pada tahap awal perkembangan folikel dan dibutuhkan untuk pembentukan folikel antrum. FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen. Menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrohen mencapai suatu tingkatan yang cukup tinggi untuk menekan produksi FSH dan dengan pelepasan LH menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan terbentuk korpus luteum dan ketika tidak bunting maka PGF2α dari uterus akan melisiskan korpus luteum. Tetapi jika terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk menjaga kebuntingan (Adnan dan Ramdja, 1986). 4. Prostaglandin (PGF2α) Prostaglandin adalah senyawa C20 dengan satu cincin siklopenta yang mirip derivate asam lemak tak jenuh seperti arakidonat (Solihati, 2005). Nama prostaglandin diberikan oleh Von Euler karena ia berpendapat bahwa zat ini dihasilkan oleh kelenjar prostat manusia. Prostaglandin mempunyai implikasi pada pelepasan gonadotropin, ovulasi, regresi CL, motilitas uterus dan motilitas spermatozoa (Djajosoebagio, 1990). PGF2α bersifat luteolitik sehingga mampu menginduksi terjadinya regresi CL yang mengakibatkan estrus, akan tetapi mekanisme yang sebenarnya belum diketahui dengan pasti walaupun salah satu dari postulat-postulat yang ada menyatakan bahwa efek vasokonstriksi dari PGF2α dapat menyebabkan luteolisis. Beberapa hipotesis tentang bagaimana kerja PGF2α dalam melisiskan CL yaitu (1) PGF2α langsung berpengaruh kepada hipofisis, (2) PGF2α menginduksi luteolisis melalui uterus dengan jalan menstimulir kontraksi uterus sehingga dilepaskan luteolisis uterin endogen, (3) PGF2α langsung bekerja sebagai racun terhadap sel-sel CL, (4) PGF2α bersifat sebagai antigonadotropin, baik dalam aliran darah maupun reseptor pada CL, dan (5) PGF2α mempengaruhi aliran darah ke ovarium (Solihati, 2005). PGF2α hanya efektif bila ada korpus luteum yang berkembang, antara hari 7 sampai 18 dari siklus estrus ( Putro, 2008 ). 5. Controlled Internal Drug Release (CIDR) Controlled Internal Drug Release (CIDR) merupakan alat yang terbuat dari sebatang silikon berbentuk huruf T dan mengandung 1,9 gram hormon progesteron untuk hewan besar (seperti sapi dan kerbau) dan 0,33 gram hormon progesteron untuk hewan kecil (seperti kambing dan domba). Keuntungan penggunaan alat ini adalah untuk mengontrol siklus berahi, mengatasi problem fertilitas seperti anovulatory anoestrus (ternak yang tidak bersiklus) dan ovarium yang sistik, serta untuk program seleksi dan transfer embrio (Anonim 2011b). Pemasangan CIDR dilakukan secara asepsis dengan aplikator khusus yang sudah dicelupkan dalam larutan antiseptik standar, diberi pelumasan dengan gel steril, netral, kemudian dimasukkan ke dalam vagina sampai di depan os uteri dari servik, seterusnya implan dideposisikan pada tempat itu. Estrus akan timbul dalam waktu 3 hari kemudian setelah CIDR dicabut, sehingga inseminasi buatan dapat dilakukan antara hari ke 48 sampai 72 jam kemudian ( Putro, 2008). Mekanisme kerja dari alat ini, yaitu alat ini dimasukkan dan didiamkan dalam vagina selama beberapa hari, selanjutnya progesteron yang terdapat di dalam alat ini akan diserap oleh vagina dan segera disekresikan ke dalam aliran darah yang akan menghambat pelepasan FSH dan LH dari adenohipofisis melalui mekanisme umpan balik negatif. Kadar progesteron dalam darah akan meningkat pada saat alat disisipkan dalam vagina dan tetap stabil dipertahankan selama periode penyisipan alat ini. Setelah alat ini dicabut terjadi penurunan progesteron secara mendadak dan mencapai level basal sehingga terjadi feedback positif pada hipotalamus untuk melepaskan GnRh yang akhirnya terjadi pelepasan hormon FSH dan LH dari adenohipofisis dan akan terjadi pematangan folikel, berahi dan ovulasi. CIDR memberikan fertilitas terbaik bila diinsersikan selama 7 sampai 10 hari (Putro, 2008).Pada pemasangan CIDR di vagina dilakukan pada hari ke-0. Setelah selang 7 hari CIDR dicabut, tetapi 24 jam sebelum pencabutan CIDR di injeksi PGF2α untuk melisiskan korpus luteum yang tersisa, sehingga akan lebih meminimumkan kadar progesteron setelah CIDR dicabut, sebagai akibatnya proses estrus dan ovulasi akan menjadi lebih baik (Putro, 2008). DAFTAR PUSTAKA Adnan, A. dan Ramdja , M. 1986. Fisio Patologi Ovarium Sapi Dan Aktivitas Hormonalnya. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Achyadi, K. R., 2009.Deteksi Birahi pada Ternak Sapi. Tesis MS Pascasarjana IPB. Bogor. Anonim, 2006. Reproductive Physiology And Endocrinology- Artificial Insemination. http//www.aqha.com. Diakses 09 Oktober 2011. Anonim, 2011. Statistik Peternakan. Kabupaten Sinjai.http//.situsresmikabupaten sinjai. Diakses 05 Oktober 2011. Anonim, 2011a. Teknik Sinkronisasi Estrus Pada Sapi. http//.dokterhewanku.com. Diakses 05 Oktober 2011. Anonim, 2011b. Gejala-gejala berahi sapi perah. http//.akhirman.com. Diakses 09 Oktober 2011. Cartmill, J. A., El-Zarkouny, S. Z., Hensley, B. A., Lamb, G. C. and Stevenson, J. S. 2001. Stage of cycle, incidence and timing of ovulation and pregnancy rate in dairy cattle after three timed breeding protocols. J. Dairy Sci. 84: 1051-1059. Cerri. R.L.A., J.E.P. Santos, S.O. Juchem, K.N. Galvao, and R.C. Chebel. 2004. Timed artificial insemination with estradiol cypionate or insemination at estrus in high-producing dairy cows. J.Dairy Sci. 87: 3704-3715. Chebel, R. C., Santos, J. E. P., Rutigliano, H. M. and Cerri, R. L. A. 2004. Efficacy of an injection of dinoprost tromethamine when given subcutaneously on luteal Chenault, J. R., D.D Kratser, R.A Rzepkowski, and M.C. Goodwin. 1990. LH and FSH response of Holstein Heifer To Fertirelin Acetate, Gonadrelin And Buserin. Theriogenology 53:1407–1414. Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi Kelenjar endokrin Volume II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen. Dikti. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB. E.J.P. Schmitt, and W.W. Thacther. 1996. Evaluation Of Timed Insemination Using Gonadotroping-Realising Hormene Agonist In Lactating Dairy Cows. J. Anim. Sci. 74:1084–1091. Frandson, R.D., 1996, Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi ke-7, diterjemahkan oleh Srigandono, B dan Praseno, K, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Fricke, P. M., J. N. Guenther, and M. C. Wiltbank. 1993. Effect Of Decreasing The Dose Of Gnrh Used In A Protocol For Synchronization Of Ovulation And Timed Ai In Lactating Dairy Cows. Theriogenology 50:1275–1284 Hafez E.S.E. and Hafez, B. 2000. Reproduction In Farm Animal. 7th edition . Leafebiger. Philadelphia Husnurrizal. 2008. Sinkronisasi Berahi Dengan Preparat Hormon Prostaglandin (PGF2α). Lab. Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. (http://www.foxitsoftware.com). Diakses 09 Oktober 2011 Larson, J.E., G.C. Lamb, J.S. Stevenso, S.K. Johnson, M.L. day, T.W Geary, D.J.kesler, J.M. Dejarnette, F.N Schrick, A. DiCoztanzo and J.D. Arseneau. 2006. Synchronization Of Estrus In Sucled Beef Cows For Detected Estrous And Artificial Insemination Using Gonadotroping-Releasing Hormone, Prostaglandin F2α, And Progesteron. J. Anim. Sci. 71:61. Marawali,A. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Reproduksi Ternak. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Tinggi Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur. Jakarta McDonald, L.E., 1969, Veterinary Endocrinology and Reproduction, Lea & Febringer,Philadelphia. Partodiharjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Pursley, J. R., M. W. Kosorok, and M. C. Wiltbank. 1997. Reproductive management of lactating dairy cows using synchronization of ovulation. J. Dairy Sci. 80:301–306. Putro, P.P., 2008. Dampak Crossbreeding terhadap Reproduksi Induk Turunannya: Hasil Studi Klinis. Lokakarya Lustrum VIII Fak. Peternakan UGM, 8 Agustus 2009 Sansoucy, R., G. Aarts and R.A. Leng. 1986. Mollases urea blok as a multinutrient for ruminant. Sugar cane as feed. Proceeding of an FAO expert consultation help in Suntodominggo. July, 7 – 11., 1986. Dominocan Republic. 57:81. Salisbury, R.E. dan W.L. vandemark. 1985. Fisiologi reproduksi dan inseminasi buatan pada sapi. Edisi terjemahan oleh R. Djanuar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Solihati, N. 2005. Pengaruh Metode Pemberian PGF2α Dalam Sinkronisasi Estrus Terhadap angka Kebuntingan Sapi Perah Anestrus. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran. Sonjaya, H. 2005. Materi Mata Kuliah Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar Tenhagen, B. A. 2005. Factors influencing conception rate after synchronization of ovulation and timed artificial insemination–A review. Dtsch. Tieraerztl. Wochenschr. 112:136–141. Toelihere. M.R. 1995. Fisiologi Reproduksi Ternak. Penerbit Angkasa Bandung, Bandung. Widiyono, Irkham. 2008. Hewan Produksi Ruminantia dan Non Ruminantia. (kuliah Pengantar S-1 angkatan 2008, tanggal 21 Oktober 2008)