tulisan ini akan mengekplorasikan beberapa teori dasar untuk membagun kesimpulan-kesimpulan teori yang kebanyakan di gunakan oleh kalangan intelektual, politisi dan usahawan dengan berbagai maksud tertentu. tulisan ini mencoba membangun paradoks dengan perspektif berbeda.
pertama, penggunaan teori oleh pembuat keputusan sebagai legitimasi ilmiah atau dalam tafsiran machiavelli sebagai jaket pelindung untuk mempromosikan kepentingan-kepentingan tertentu.
kedua, memandang teori sebagai panduan yang rasional untuk menanggapi masalah sosial dan ekonomi.
dalam tafsiran teori pembangunan kita akan tenggelam dengan pemikiran marxis dan neo marxs yang memberikan penjelasan teoriti cukup baik tentang pembangunan dan keterbelakangan di tingkat nasional dan internasional. namun karena teori-teori ini ini adalah radikal mereka tidak menawarkan banyak pemecahan yang spesifik dalam keseharian dalam pembuatan kebijakan, sehingga muncullah ruang kosong teoritis yang cenderung di isi oleh dengan teori yang konservatif dan tabu. sehingga terkesan keputusan yang mereka tampilkan terkesan retorika yang radikal akibatnya terciptalah tindakan yang menyesatkan dan yang lebih para ketika yang terpakai adalah teori neo klasik yang konservatif atau struktural yang cenderung memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin.
Tuesday, April 5, 2011
politik pendidikan
apa yang kau pelajari di sekolah hari ini anakku???
aku di ajarkan bahwa presiden tidak pernah berbohong...
aku diajarkan bahwa tentara itu gampang mati...
aku di ajari bahwa setiap orang punya kebebasan
begitulah yang di ajarkan guruku.
itulah yang aku pelajari di sekolah hari ini
aku pun diajarkan bahwa polisi adalah sahabat, aku diajarkan bahwa ke adilan tidak pernah mati, aku di ajarkan bahwa pembunuh itu mati karna kejahatannya sendiri, meski kadang kita juga membuat kesalahan
aku di ajarkan bahwa pemerintah harus kuat, pemerintah selalu benar dan tak pernah salah, pemimpin kita adalah orang yang paling bijakdan lagi-lagi kita akan memilih mereka. inilah doktrin yang di ajarkan kepada saya di setiap bangku sekolah tetapi apa yang terjadi bahasa yang di kemukakan para guruku tidak selamanya benar banyak yang di berikan bukan kebenaran(kesesuaian antara ide dengan realitas) tapi ini adalah hal yang bertentangan dan saya berani mengatakan bahwa mereka berada pada kesesatan yang nyata yang masih tetap menganggap dunia pendidikan sebagai bank untuk menghasilkan modal. ironisnya orentasi para pengajar mengalami distorsi yang dulunya mulia tapi sudah di cederai dengan nuansa materi yang berlandaskan ke iklasan memberi pengetahuan namun berangkat pada pemikiran yang tetap tendensi finansial sehingga metodologi pengajarannya pun terkesan konyol yang tidak mampu lagi di gunakan untuk memecahkan problem sosial.
aku di ajarkan bahwa presiden tidak pernah berbohong...
aku diajarkan bahwa tentara itu gampang mati...
aku di ajari bahwa setiap orang punya kebebasan
begitulah yang di ajarkan guruku.
itulah yang aku pelajari di sekolah hari ini
aku pun diajarkan bahwa polisi adalah sahabat, aku diajarkan bahwa ke adilan tidak pernah mati, aku di ajarkan bahwa pembunuh itu mati karna kejahatannya sendiri, meski kadang kita juga membuat kesalahan
aku di ajarkan bahwa pemerintah harus kuat, pemerintah selalu benar dan tak pernah salah, pemimpin kita adalah orang yang paling bijakdan lagi-lagi kita akan memilih mereka. inilah doktrin yang di ajarkan kepada saya di setiap bangku sekolah tetapi apa yang terjadi bahasa yang di kemukakan para guruku tidak selamanya benar banyak yang di berikan bukan kebenaran(kesesuaian antara ide dengan realitas) tapi ini adalah hal yang bertentangan dan saya berani mengatakan bahwa mereka berada pada kesesatan yang nyata yang masih tetap menganggap dunia pendidikan sebagai bank untuk menghasilkan modal. ironisnya orentasi para pengajar mengalami distorsi yang dulunya mulia tapi sudah di cederai dengan nuansa materi yang berlandaskan ke iklasan memberi pengetahuan namun berangkat pada pemikiran yang tetap tendensi finansial sehingga metodologi pengajarannya pun terkesan konyol yang tidak mampu lagi di gunakan untuk memecahkan problem sosial.
Monday, April 4, 2011
DEMOKRASI DAN DISTORSINYA: POLITIK REFORMASI DI INDONESIA
Demokrasi lahir kira-kira 5 abad sebelum masehi dalam masa Yunani Antik di kota Athena Demokrasi sudah banyak menimbulkan keraguan. Bukan saja aristokrat merasa terancam kedudukannya oleh adanya sistem yang memungkinkan pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga para filosof populis seperti Socrates bahkan cenderung menolaknya. Menurut filosof ini, demokrasi harus dicegah karena sistem ini memberi kemungkinan bahwa suatu negara akan diperintah oleh orang-orang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya. Socrates tentulah memahami dengan baik bahwa rakyat tidak selalu memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap mampu, tetapi lebih karena kepada orang-orang yang mereka sukai. Celakanya, orang-orang yang disukai dan dipilih oleh rakyat, bukanlah selalu orang-orang yang kompeten untuk membela nasib mereka.
Gelombang Demokratisasi Ketiga (The Third Wave: Democratization in The Late Twentieth Century)
Gelombang Demokratisasi Ketiga (The Third Wave: Democratization in The Late Twentieth Century)
Salah satu karya monumental Samuel P. Huntington , membuat peta tentang gelombang demokratisasi di seluruh dunia sampai menjelang akhir abad ke-20. Peta itu memuat tiga gelombang besar demoktarisasi dan dua gelombang balik demokratisasi. Indonesia dipetakan larut dalam gelombang demokratisasi kedua bersama negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka dari penjajahan kolonial. Tapi itu tidak bertahan lama, sebab kemudian Huntington memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang tersapu gelombang balik demokratisasi kedua. Artinya ia menjadi salah satu negara yang tidak demokratis, atau paling tidak menghilang dari pembicaraan tentang negara demokratis.
Pertanyaan yang kemudian selalu menghantui adalah parameter apa yang paling valid untuk menyebut sebuah negara berada pada gelombang demokratisasi atau bereda pada ranah otoritarianisme atau non demokratis? Pertanyaan ini akan menyeret berbagai persoalan, khususnya yang menyangkut sosio-kultur: tentang apakah budaya, agama, ras, letak geografis, tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan ekonomi, dan seterusnya menjadi prasyarat penentu bagi tumbuhnya iklim demokrasi yang konsolidatif? Selama ini, kultur Islam telah kadung dipersepsi oleh banyak orang sangat tidak sehat bagi tumbuhnya demokrasi. Sehingga pilihan sistem politik di dunia muslim, bagi beberapa pengamat seperti Fareed Zakaria, bukanlah demokrasi. Kesimpulan ini diambil berdasarkan berbagai fakta tentang gagalnya konsolidasi demokrasi liberal di berbagai negara muslim. Pada banyak kasus, demokrasi bukannya membawa angin perubahan bagi masyarakat muslim, melainkan menjadi instrumen bagai munculnya kekuasaaan kaum fundamentalis agama dan perpecahan sosial yang berdarah-darah. Orang semacam Fareed Zakaria akhirnya menawarkan sistem kekuasaan otokrat liberal sebagai sistem transisi sebelum masuk ke dalam sistem demokrasi: artinya, dunia muslim saat ini jangan buru-buru menjadi negara demokratis, tapi harus melalui persiapan panjang dalam sistem otokrat liberal tersebut. Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Freedom Institute (FI), dan Jaringan Islam Liberal (JIL) tentang orientasi politik Islam di Indonesia pada awal bulan November 2004 cukup mencengangkan. Betapapun pemilu 2004 berjalan sukses dan menjadi sebuah alasan kuat untuk mengatakan bahwa Indonesia benar-benar layak menyandang gelar sebagai negara paling demokratis di antara negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, temuan penelitian ini menunjukkan landasan yang sangat rapuh bagi proses demokratisasi di Indonesia, yang boleh jadi merupakan representasi dunia muslim pada umumnya. Angka dukungan terhadap agenda-agenda Islamis cukup membuat gentar: 41,1 % yang mendukung perempuan tidak boleh jadi presiden; 55 % setuju hukum rajam bagi penzina; 58 % mendukung pembagian waris dua banding satu antara laki-laki dan perempuan; 41 % menyatakan dukungan terhadap pelarangan bunga bank; pendukung poligami sebanyak 39 %; dan sebanyak 40 % setuju hukum potong tangan diterapkan di Indonesia. Dan yang lebih merisaukan bagi kelanjutan demokrasi dan kebebasan sipil (civil liberties) adalah tingginya sikap intoleran kaum muslim terhadap ummat Nasrani: 24,8 % keberatan kalau orang Kristen mengajar di sekolah negeri, apalagi di sekolah agama (madrasah, pesantren, IAIN, dan seterusnya); 40,8 % umat Islam Indonesia keberatan jika orang Kristen mengadakan kebaktian di sekitar wilayah tempat tinggalnya; dan 49,9 % umat Islam Indonesia keberatan jika orang Kristen membangun gereja di sekitar tempat tinggal mereka.
Fenomena di atas mungkin masih bisa ditanggulangi dengan mengatakan bahwa itu baru pada tataran sikap, sehingga sangat mungkin berbeda pada tataran praksis. Menurut penelitian ini, sekitar 2–3 % umat Islam Indonesia pernah melakukan aksi pemboikotan terhadap barang atau jasa yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, melakukan razia tempat-tempat hiburan, atau demonstrasi sebagai dukungan terhadap penderitaan umat Islam di manapun berada. Sementara itu, ada sekitar 15,9 % kaum muslim
Sejak awal, setumpuk keraguan terhadap perkembangan demokrasi di dunia muslim memang mewarnai berbagai perdebatan. Berbagai prasyarat, seperti historis, geografis, ekonomi, kultur, basis sosial, agama, dan seterusnya yang dipenuhi oleh masyarakat demokratis Barat tidak tercipta di banyak belahan dunia muslim. Salah satu prasyarat tersebut adalah tradisi kapitalisme yang tidak tumbuh dengan baik di dunia muslim. Kapitalisme menjadi sarana tumbuhnya iklim demokrasi karena mengandaikan kehidupan persaingan bebas, yang pada akhirnya akan melahirkan para borjuis, para borjuis inilah yang menjadi pilar demokrasi seperti yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Barrington Moore menjelaskan hal ini dalam sebuah ungkapan singkat: “No bourgeois, no democracy.”
Faktor lain, misalnya, dunia Islam tidak mengalami sejarah pertentangan panjang seperti yang dialami oleh Barat. Sejarah Barat dipenuhi oleh berbagai pertentangan: antara gereja dan negara, antara raja dan bangsawan, antara Katolik dan Protestan, sampai kemudian muncul revolusi industri yang menandai ketegangan antara para bangsawan dan borjuis, pertentangan antara borjuis sendiri, belum lagi peperangan kekuasaan antar bangsa, dan sebagainya. Semua itu menumbuhkan sikap pengakuan terhadap kepemilikan dan hak-hak pribadi antar sesama manusia. Pembagian kekuasaan dan mekanisme perebutan kekuasaan yang melibatkan sebanyak mungkin orang juga kemudian disadari karena proses panjang perebutan berbagai kepentingan tersebut di atas. Satu hal yang tidak boleh luput dari ingatan adalah bahwa demokrasi selalu unik pada setiap negara, bahkan kerapkali demokrasi sangat sulit didefinisikan. Pengambilan kebijakan publik melalui keterlibatan segelintir anggota masyarakat laki-laki kelas atas secara langsung di Yunani 2500 tahun lalu disebut sebagai demokrasi. Pemberian hak suara kepada masyarakat umum di Jerman pada tahun-tahun 1930-an awal yang melahirkan pemimpin ultra diktator, Hittler, juga adalah proses demokrasi. Dua negara paling demokratis, AS dan
Kesulitan mendefinisikan demokrasi ini membuat Fareed Zakaria hanya mengartikannya sebagai a good government. Sebab sangat tidak memadai apabila demokrasi hanya dimaknai prosedural (pemilihan umum). Karena, demokrasi seperti itu tak jarang hanya melahirkan pemimpin teroris, rasis, fasis, ataupun mereka yang memiliki proyek untuk mengabaikan konstitusi dan mencabut hak-hak individu. Demokrasi juga tidak cukup dimaknai sebagai demokrasi liberal, di mana telah tercipta pemilihan umum dan juga terdapat rule of law, a separation of power, dan the protection of basic liberties of speech, assembly, religion, and property. Kenyataannya, demokrasi dan liberalisme kerapkali berpisah jauh. Maka menjadi relevan apabila demokrasi hanya memiliki makna sebagai pemerintahan yang baik: di mana ada pemerintahan yang baik, di situlah demokrasi berada. Dengan demikian, demokrasi menjadi sebuah konsep yang tidak kaku. Islam memiliki konsep demokrasinya sendiri, yang mungkin berbeda dengan konsep demokrasi di dunia lain, termasuk dengan dunia Barat.
Otokrat liberal adalah istilah yang terlalu pesimis bagi dunia Islam, khususnya
Ancaman terbesar terhadap demokrasi Indonesia
Ancaman terbesar terhadap demokrasi Indonesia
Putus Asa, Ancaman Terbesar Demokrasi Indonesia
Jakarta, Selasa Ancaman terbesar yang dihadapi keberadaan demokrasi di Indonesia saat ini adalah keputusaan terhadap demokrasi itu sendiri serta lemahnya kekuatan gerakan demokrasi dalam menghadapi kekuatan-kekuatan yang anti-demokrasi. Demikian pendapat yang dilontarkan oleh peneliti dari International Crisis Group, Sidney Jones, dan pengamat politik dari CSIS, J. Kristiadi, di Jakarta, Selasa (13/1), dalam peluncuran dan bedah buku Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto. "Ancaman terbesar mungkin perasaan putus asa terhadap demokrasi di Indonesia," kata Jones. Ia melihat kehidupan demokrasi saat ini masih hidup, walaupun tidak sehat. Dicontohkannya, ada orang yang ditangkap karena menyobek poster Megawati, juga kemunduran kebebasan pers. Juga, banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan berbagai kelompok sipil lainnya masih terjebak pada pola pikir lama, yaitu membangun perlawanan terhadap pihak anti-demokrasi dari luar. Pola pikir lama itu, terjadi pada era kekuasaan mantan presiden Soeharto di bawah rejim Orde Baru yang dipimpinnya selama 32 tahun. "Tantangan yang dihadapi sekarang adalah bagaimana bisa masuk ke dalam dan mencoba mengubah dari dalam sistem-sistem yang masih buruk," katanya. Yang selama ini terjadi, menurutnya, justru kebalikannya. Sosok-sosok yang kritis dan ’vokal’ masuk ke suatu partai tertentu, namun setelah masuk kelantangan menyuarakan aspirasi demokratis justru makin menghilang. Namun demikian, ia menyatakan tidak setuju jika reformasi dianggap gagal.
"Terlalu dini untuk mengatakan reformasi gagal karena kurun waktu lima tahun tidak cukup untuk memperbaiki segala kesalahan yangterjadi pada masa Soeharto," ujarnya.Senada dengan Jones, Kristiadi melihat bahwa gerakan-gerakan demokrasi yang ada saat ini belum mampu melakukan konsolidasi untuk melawan kekuatan yang disebutnya sebagai "sangat kontra demokrasi". Karena itu, seluruh gerakan demokrasi harus kembali menyusun agenda demokrasi mereka, baik dalam memperkuat konsep maupun jaringan.
"Yang diperlukan sekarang adalah strategi untuk membangun kekuatan bersama-sama untuk melawan konspirasi yang melibatkan politisi-politisi busuk yang sudah menjalin kekuatan dengan menggunakan institusi-institusi penegak demokrasi," tambahnya. Ia menganggap, ancaman terbesar terhadap demokrasi di Indonesia adalah kegagalan orang-orang yang dipercaya rakyat menjadi anggota parlemen dan pejabat publik. "Mereka gagal untuk membuktikan bahwa reformasi itu lebih bermanfaat dibandingkan masa lalu," katanya.
eksperimen demokrasi dan kebebasan beragama
Eksperimen Demokrasi dan Kebebasan Beragama
Menghadirkan demokrasi di negeri bermayoritas muslim seperti Indonesia ternyata tidak mudah. Sebabnya bukan karena Islam sebagai doktrin tidak welcome terhadap demokrasi. Spirit Islam dan spirit demokrasi bahkan dapat bertemu secara substantif. Penelitian tentang wacana kesesuaian Islam dan demokrasi baik yang tekstual maupun yang kontekstual sudah teramat banyak.
Menghadirkan demokrasi di negeri bermayoritas muslim seperti Indonesia ternyata tidak mudah. Sebabnya bukan karena Islam sebagai doktrin tidak welcome terhadap demokrasi. Spirit Islam dan spirit demokrasi bahkan dapat bertemu secara substantif. Penelitian tentang wacana kesesuaian Islam dan demokrasi baik yang tekstual maupun yang kontekstual sudah teramat banyak. Sebut saja hasil penelitian mutakhir sarjana Barat seperti Robert W. Hefner (Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia: 2000). Dengan analisa "antropologi demokrasi"nya, Hefner merekomendasikan bahwa Indonesia memiliki modal sosial dari sejarah Islam Indonesia dalam mengembangkan demokratisasi. Tokoh-tokoh besar seperti Abdurahman Wahid dan almarhum Nurcholish Madjid, sepanjang karir intelektualnya tidak pernah berhenti untuk mendorong laju demokrasi di Indonesia . Demokrasi memang bukan segalanya, tetapi ia lebih bisa diterima ketimbang yang lain seperti teokrasi.
Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilihan persiden secara langsung sepanjang tahun 2004 lalu, dipuji oleh majalah terkemuka The Economist edisi 10 Juli 2004, yang dalam cover story-nya membuat judul, "Indonesia's Shining Muslim Democrazy" (Demokrasi Muslim Bersinar di Indonesia). Pujian dunia internasional terhadap keberhasilan "proyek demokrasi" sekaligus "hadiah" bagi umat Islam (yang percaya dengan demokrasi) dalam mengaplikasikan "Islam damai" sekaligus membantah tudingan akan suburnya "islam radikal" di Indonesia.
Fakta ini juga menjawab "tudingan" Oliver Roy (The Failure of Political Islam) yang mengatakan bahwa kemenangan politik islamis di negeri muslim hanya membawa berbagai perubahan superfisial di bidang hukum dan adat istiadat. Islamisme, belakangan berubah menjadi tipe neo-fundamentalisme yang hanya peduli kepada gerakan menegakkan syariat tanpa menciptakan bentuk-bentuk politik yang baru.
Pengalaman keberhasilan kerja demokrasi di negeri berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia-meskipun baru seumur jagung-dengan demikian semakin meyakinkan bagi akademisi politik ternama seperti Liddle, Stephan, Esposito, Voll, dan Hefner bahwa umat Islam di Indonesia berbeda dengan umat Islam di kalangan Timur Tengah yang selalu dipersepsi keras.
Namun, seperti diingatkan Hefner, modal sosial yang dimiliki itu bisa saja berbalik sebagai ancaman bagi demokrasi. Pasca-robohnya rezim Orde Baru, ternyata tesis Hefner tengah mendapat pembenarannya, baik sebagai pendorong demokrasi maupun sebagai 'pemukul' demokrasi. Aktualitas kehidupan beragama adalah salah satu ukuran apakah pilar-pilar demokrasi dapat terjabarkan dengan baik pada tataran sosiologis atau tidak.
Tidak dapat dielakkan, di Indonesia, karena fakta kemajemukan yang tinggi, hubungan antar agama dan suku sering melahirkan konflik serius. Islam dan Kristen misalnya (dua agama yang paling sering "berseteru"), selalu saja memunculkan "kecurigaan teologis" di atas isu semacam "Kristenisasi" dan "Islamisasi". Orang Islam khawatir dikristenkan dan orang Kristen khawatir diislamkan. Konflik antar agama ini sering pula didasarkan atas hubungan mayoritas-minoritas di mana politik diskriminatif sering berlangsung.
Fakta-fakta terbaru seperti perusakan kampus Ahmadiyah di Parung Bogor, kontroversi 11 fatwa MUI, penutupan gereja di Bandung dan Serang Banten oleh warga adalah dilema tersendiri bagi pembangunan demokrasi, untuk tidak menyebut sebagai cacat demokrasi. Ada sebagian dari gerakan Islam yang amat serius menangani isu semacam itu dengan paradigmanya sendiri yang acapkali memicu kekerasan. Seolah-olah, dalam konteks penutupan tempat ibadah secara paksa, antara agama satu dengan yang lainnya sudah tertutup ruang toleransi. Surat Keputusan Bersama No.01/BER/MDN-MAG/1969 (Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri) menjadi alasan hukum untuk menutup tempat ibadah yang tidak seharusnya. Di samping alasan hukum, ada semangat keagamaan yang menyelinap di atas logika penutupan tempat ibadah oleh kelompok agama lain. Bagi mereka, gerakan ini adalah bagian dari ibadah dan dakwah yang diletakkan dalam frame amar makruf nahi munkar.
Dilema empirik semacam itu, meskipun secara bijak harus dianggap sebagai bumbu demokrasi, haruslah dianggap sebagai masalah serius baik oleh warga maupun negara. Bagi negara yang menganut sistem demokrasi, ekspresi keberagamaan warga haruslah dijamin melalui undang-undang. Hubungan mayoritas-minoritas harus diletakkan dalam bingkai keadilan. 'Warga mayoritas' tidak bisa berlindung di atas nama kuantitas. Keduanya harus bergerak meng-indonesia. Jika tidak demikian, maka warna-warni 'bunga Indonesia ' tidak lagi indah dipandang mata.
Sinergi Islam dan Demokrasi
Ironi demokrasi yang disajikan Indonesia , jika mau jujur, bukanlah hal baru dalam praktik demokrasi di negera-negara tertua demokrasi sekalipun. Di AS misalnya, ironi semacam itu sering pula terjadi. Kelompok White Anglo Saxon Protestant (WASP), sebagai kelompok mayoritas di AS, memiliki privilege di atas yang lainnya. Artinya, secara diam-diam, ideal demokrasi seringkali dikalahkan oleh aktualitasnya. Karena itu, tidak keliru jika Giovanni Satori (1986), seperti dikutip Amich al-Humami (Negara Sekuler: Sebuah Polemik: 2000), mengajukan pertanyaan kritis: "Jika kita bicara tentang demokrasi Barat, maka kata kuncinya itu 'Barat' atau 'pengalaman'? Dalam perspektif demikian, Demokrasi Indonesia haruslah dibangun secara mandiri dan otonom dari pengalaman demokrasi negara-negara Barat. Sebagaimana Iran, Indonesia kurang lebih sama. Yaitu, bagaimana menjadikan agama (Islam) sebagai pemandu demokrasi yang khas Indonesia. Mungkin di sini ada soal klasik, yaitu bagaimana Islam sebagai ajaran diolah menjadi 'menu Indonesia' sebagaimana anjuran Cak Nur, "bagaimana ber-Islam secara Indonesia dan 'ber-Indonesia' secara Islam". Maksudnya, Islam (dengan I besar) sebagai sebuah ajaran yang murni mau tidak mau harus berdialog dengan islam (dengan i kecil) sebagai aspek kesejarahan umat Islam. Dinamisme masyarakat muslim Indonesia sebagai fenomena keberagamaan, yang oleh Hefner disebut sebagai modal sosial demokrasi harus selalu diperiksa untuk meneguhkan kembali ikatan Islam dan demokrasi, terutama pada wilayah sosialnya.
Dalam ruang yang lebih spesifik, kehidupan demokratik harus ditopang oleh kehidupan beragama yang kondusif. Untuk itu, kehidupan umat beragama di Indonesia harus diletakkan dan diabdikan untuk kepentingan umat Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan 'ber-Islam secara Indonesia' ala Cak Nur.
Pengrusakan, penutupan paksa tempat ibadah adalah "peristiwa sosial" yang mendefisitkan cita-cita demokrasi. Jikapun bukan atas nama demokrasi, "peristiwa sosial" yang anarkhis pastilah tertolak secara sosial. Maka, kebebasan beragama harus mendapat tempat yang layak di atas pelataran demokrasi Indonesia. Posisi mayoritas-minoritas harus ditempatkan dalam bingkai keadilan yang jujur.
Kekhawatiran "penjajahan teologis" dari agama satu ke agama lain bukan lagi menjadi wacana yang menarik di era multikulturalisme dan pasar bebas agama dan budaya. Agama-agama justru harus menjadi 'imam' kemajuan bangsa. Pendekatan teologis-eksklusif terhadap fakta kemajemukan hanya akan memelihara jarak kerja sama agama-agama. Dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, musuh Islam bukan Kristen, musuh Kristen bukan Islam. Musuh keduanya adalah keterbelakangan, kebodohan, pengangguran, kemiskinan dan lain-lain. Maka, kerja sama agama-agama mutlak diperlukan untuk melawan musuh-musuh itu sebagai tanggung jawab publik-agama-agama.
Demokrasi Pascapemilu di Indonesia
Demokrasi Pascapemilu di Indonesia
salah satu peristiwa yang menarik bagi bangsa kita, yang mencerminkan proses terwujudnya demokratisasi di Indonesia melalui pemilihan umum legislatif dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Patut pula diperhatikan dari dua episode peristiwa pemilu sebelumnya yang terselanggara dalam situasi aman, damai, dan terlaksana secara jujur dan transparan, merupakan peristiwa yang mengantarkan rakyat Indonesia menjadi lebih dewasa dalam memilih kemunculan kepemimpinan Indonesia baru sebagai hasil kemenangan rakyat Indonesia.
Dalam konteks ini, tidak ada kelompok yang kalah, dan tidak ada kelompok yang menang. Semua peristiwa itu merupakan proses kesinambungan dalam perwujudan kompetisi yang sehat dan proses demokratisasi yang terbuka. Kemunculan peristiwa itu pun membawa kita untuk merekonstruksi kembali berbagai teori politik dan sosial yang dilatarbelakangi oleh fenomena pemikiran tradisional maupun modern kontemporer dalam mengonsepsikan hakikat struktur politik demokrasi dan tindakan sosial serta relasi antara keduanya.
Berbagai alternatif teoretis yang ditawarkan tentang rekonseptualisasi atas konsep demokrasi politik serta pengintegrasiannya ke arah pembaharuan dan perubahan sosial, merupakan upaya baru dalam penataan relasi-relasi sosial lintas ruang (space) pluralistik dan multikultural berdasarkan analisis struktural, kultural integratif dan holistik hendaknya mendapat perhatian saksama. Dalam konteks masa (time) saat ini, kendati masih merupakan masa transisi menuju demokrasi yang sebenarnya bagi rakyat Indonesia , kita sudah memiliki modal awal untuk penataan dan menindaklanjuti proses demokrasi baik dalam birokrasi maupun ruang publik (public sphere).
Kehendak untuk menciptakan tatanan civil society/masyarakat madani yang lebih demokratis merupakan suatu hal yang wajar dan juga merupakan kelanjutan atau konsekuensi dari berbagai hasil pendidikan politik rakyat yang telah dicapai selama ini. Rakyat yang kualitas hidupnya meningkat atau setidaknya kesulitan kehidupan yang dihadapinya berkurang, dan ketika mereka mulai lebih banyak memberikan perhatian kepada proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta tidak lagi sekadar bergulat dengan kepentingannya sendiri merupakan ciri ke arah perwujudan masyarakat madani.
Perkembangan demokrasi
Pembangunan sistem politik yang demokratis memerlukan perubahan tatanan secara drastis, progresif, dan revolusioner kendati dapat juga mengandung biaya politik tinggi. Tampaknya, kemerdekaan yang kita raih tahun 1945 dari tangan penjajah tidak terlepas dari perjuangan panjang yang diawali tahun 1908 yang terkenal dengan gerakan Budi Utomo sehingga mampu menggerakkan kebangkitan nasional pertama. Dari situ perjuangan cendekiawan muda terus menggelinding dan tercetuslah Sumpah Pemuda tahun 1928 sebagai tonggak awal yang sangat strategis untuk mencapai Indonesia merdeka.
Belajar dari masa lampau, orang mungkin dapat melihat adanya dua pola tingkah laku politik ekstrem dalam masyarakat Indonesia . Pola pertama ialah berupa kecenderungan untuk memiliki kebebasan tanpa batas yang mudah melahirkan berbagai macam konflik. Kehadiran beraneka ragam konflik bukan saja menyulitkan untuk mencari konsensus, tetapi sering pula kadar konflik itu dengan cepat meningkat menjadi bentrokan fisik atau pemberontakan yang membahayakan. Pola tingkah laku politik ekstrem kedua ialah berupa kecenderungan untuk melumpuhkan konflik sama sekali. Pola tingkah laku politik begitu jelas terlihat di zaman demokrasi terpimpin atau kini terkenal dengan sebutan Orde Lama.
Pola perkembangan berikutnya pada tahun 1966. Pada masa ini, muncul konflik yang disebabkan eksperimen bangsa Indonesia dalam berpolitik dengan penggunaan sistem demokrasi liberal dan sistem demokrasi terpimpin. Kedua sistem politik tersebut terbukti gagal dalam membangun kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang stabil dan sehat. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni ketidakstabilan politik yang berkepanjangan yang dilandasi oleh pertentangan ideologi yang tajam yang kadang-kadang bermuara pada pemberontakan bersenjata yang membahayakan kehidupan bangsa dan negara. Puncak kemelut politik yang berkepanjangan itu adalah peristiwa G-30-S/PKI yang nyaris menghancurkan bangsa dan negara.
Setelah melihat penyimpangan terhadap pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang dilakukan rezim Orde Lama, masyarakat Indonesia tampil ke depan untuk menuntut pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Maka, pembangunan kultur politik masa berikutnya adalah bagaimana menyadarkan masyarakat untuk melaksanakan demokrasi Pancasila secara tepat.
Di zaman Orde Baru, pembangunan kultur politik terus berkembang dan berbeda dengan era Orde Lama. GBHN 1993 menyatakan bahwa sasaran pembangunan nasional adalah terciptanya dan berfungsinya tatanan kehidupan masyarakat berdasarkan demokrasi Pancasila yang mantap dan dinamis, dengan kualitas manusia dan masyarakat yang tinggi serta bersikap dan berperilaku sesuai nilai Pancasila dalam semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang berwawasan nusantara. Namun, perjalanan menuju ke arah tercapainya sasaran pembangunan tatanan kehidupan kultur politik yang konstitusional itu tidak lepas dari berbagai tantangan di bidang politik, HAM, ekonomi, sosial, budaya, yang secara tak langsung dapat menimbulkan citra yang merugikan kepentingan rakyat.
Dinamika demokrasi
Permasalahan dinamika kultur politik yang kita hadapi adalah berupa problematika pemberdayaan demokrasi politik rakyat yang kini tampak terus diberdayakan semaksimal mungkin. Lihat saja berbagai kalangan dan profesi, tak ketinggalan rakyat biasa amat terbuka untuk mengemukakan pandangan-pandangan politiknya, terlepas dari benar salahnya, dari mulai tempat lobi hingga warung kopi.
Secara teoretis, suatu sistem politik dapat dikatakan sudah siap untuk berjalan mulus bilamana ia telah berhasil mencapai tingkat kualitas kapabilitas atau kemandirian yang cukup tinggi sehingga kemungkinannya menjadi satu sistem politik yang dapat diandalkan (viable). Sifat kredibilitas dan kapabilitas kultur politik yang dapat diandalkan itu ditentukan oleh kemampuannya untuk mengembangkan diri atau kapasitasnya secara terus- menerus dan juga kemampuan untuk mengatasi berbagai macam krisis yang membahayakan kelangsungan hidupnya yang mungkin dihadapinya dari waktu ke waktu.
Menurut Alfian, ada tiga dimensi kemampuan yang terkandung dalam kapabilitas atau kemandirian sistem politik. Ketiga dimensi itu adalah dimensi pencegah atau dimensi preventif, dimensi pemeliharaan dan saling berkaitan serta dimensi pengembangan atau dimensi pembaruan. Ketiga dimensi itu seyogianya saling memperkuat. Sifat saling berkaitan dan saling memperkuat itu akan semakin tinggi kadarnya bilamana memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai macam kesulitan atau krisis yang membahayakan dirinya yang mungkin dihadapinya dari waktu ke waktu.
Perkembangan kehidupan kultur politik bangsa dan negara selama ini memang memperlihatkan masih menonjolnya dimensi pencegahan, sehingga dua dimensi lainnya tampak agak terabaikan. Sungguh pun begitu, selama ini tiga presiden, baik B.J. Habibie, Gus Dur maupun Megawati berupaya mengakselerasikan ke arah peletakan dasar kultur politik menuju penyempurnaan perwujudan sistem politik yang dapat diandalkan, memang telah pula memperlihatkan hasil-hasil yang mencerminkan dimensi pemeliharaan dan dimensi pengembangan. Melalui itu, dapat dilihat format dan kerangka sistem politik yang sedang terus dibangun.
Problematika yang sedang dihadapi dewasa ini adalah bagaimana mengisi atau memberi substansi yang relevan terhadap format dan kerangka tersebut. Dinamisasi struktur politik dengan pengembangan partai-partai politik dan penataan kehidupan bermasyarakat serta pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan kembali ekonomi Indonesia ke arah struktur global “kapitalisme”, telah mengembangkan kekuatan negara menjadi kekuatan yang dominan, di bawah bayang-bayang sipil (demokrasi kerakyatan). Dalam hal ini, timbul persoalan bagaimana proses dan prospek pembangunan kultur politik Indonesia .
Dalam pandangan saya, persoalan tersebut kiranya dapat diperhatikan kemungkinan penanganannya secara umum dengan cara konsolidasi setiap komponen infrastruktur politik, ekonomi, serta sosial budaya, sehingga potensi dan kekuatan yang ada di dalam tubuh bangsa dapat mempersiapkan diri melaksanakan perannya untuk menyukseskan tercapainya sasaran pemberdayaan SDM yang mandiri, unggulan, dan kompetitif.
Selain itu, perlu juga diciptakan suasana serta mekanisme kebersamaan dan keterbukaan yang mendorong gerak dinamika yang sudah ada dalam masyarakat ke arah yang lebih produktif, efektif, dan efisien; dan tindakan suasana dan mekanisme yang menghambat gerak dinamika. Terakhir yang tak kalah penting adalah terus dilakukan kajian kecenderungan perkembangan keadaan baik di dalam negeri, maupun di luar negeri, yang dapat memberikan peluang ataupun hambatan bagi gerak dinamika bangsa, dan siapkan kebijakan yang dianut untuk menghadapinya.
Memang pada saat ini, ketiga dimensi kapabilitas atau kemandirian diharapkan dapat berjalan berimbang, wajar, dan dalam suasana keharmonisan yang mencerminkan kadar yang cukup tinggi dari sifat saling berkaitan dan saling memperkuat. Perkembangan dimensi pembaruan sistem politik akan serta merta mendorong perkembangan dua dimensi lainnya, dan sebaliknya. Dengan begitu, tidak akan ada lagi suasana, yang satu dimensi berperan sangat menonjol seperti yang terlihat dengan dimensi preventif selama ini, sedangkan peran dua dimensi lainnya tampak minim atau kecil sehingga seolah-olah terabaikan.
Untuk mengetahui lebih mendalam problematika pokok perkembangan ketiga dimensi yang baru saja mencapai sifat saling berkaitan dan saling memperkuat kadar cukup tinggi pada tingkat kegoyahan dan kerapuhannya secara mendasar, perlu menelusuri/meneliti berbagai segi yang terkandung di dalam, dan mempengaruhi sistem politik yang berlaku dalam proses pembangunan dirinya. Tetapi, masalah pembangunan sistem politik yang masih dihadapi sekarang adalah problematika pemberdayaan demokrasi politik rakyat yang kini tampak terus diberdayakan semaksimal mungkin. Paling kurang ada empat segi aspek-aspek dominan yang saling memengaruhi dalam proses pembangunan sistem politik rakyat yang demokratis yakni, ideologi dan budaya politik, struktural dan lembaga politik, segi partisipasi dan komunikasi politik serta faktor non-politik.
Ditinjau dari segi ideologi dan budaya politik, salah satu jalan untuk memecahkan problematika itu ialah melalui peningkatan pemahaman bahwa ideologi bersama adalah ideologi terbuka dan demokratis. Perumusan Pasal 28 UUD 1945, sesungguhnya mempertegas sifat keterbukaan dan demokratis itu. Dengan penegasan itu, diharapkan kita tidak sampai memahami atau menafsirkan secara keliru paham integralistik yang dianut bersama, seperti yang dapat menjerumuskan masyarakat, bangsa dan negara ke alam otoriterisme/totaliterisme. Dari sudut inilah, pemahaman yang benar dan tepat tentang sifat keterbukaan dan demokratis dari paham integralistik yang kita anut menjadi landasan pemikiran ideologi dan konstitusi bersama.
Ditinjau dari segi struktural dan lembaga politik, esensi pemecahan problematika itu terletak pada kemampuan dan kemauan untuk menjadikan lembaga-lembaga yang ada dan berlaku, baik yang supra maupun yang infra, dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Itu antara lain berarti meningkatkan kualitas kemandirian lembaga-lembaga politik yang masih lemah dengan antara lain berarti memberi keleluasaan yang jauh lebih longgar kepada lembaga-lembaga politik tersebut. Dari situ kembali dilihat sifat saling berkaitan dan saling memperkuat dari ketiga dimensi bilamana kualitas kapabilitas/kemandiriannya berhasil mencapai tingkat keberimbangan yang wajar dan sehat.
Sementara itu, jika ditinjau dari segi partisipasi dan komunikasi politik, pengembangan suasana keterbukaan masyarakat seperti itu sekaligus akan mempertinggi kemampuan pencegahan dan kemampuan pemeliharaannya. Di sini kita kembali melihat suasana atau sifat saling berkaitan dan saling memperkuat antara kedua dimensi kapabilitas atau kemandirian dalam kaitannya dengan segi partisipasi dan komunikasi politik.
Selain itu, salah satu problematika yang berkaitan dengan faktor-faktor non-politik ialah berupa kesulitan dalam menyelaraskan, mengimbangkan, dan mengharmoniskan pembangunan kultur politik dengan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Salah satu cara yang dapat membantu pemecahan problematika ialah dengan jalan memperluas ruang gerak bagi berkembangnya suasana keterbukaan yang disertai dengan rasa tanggung jawab yang tinggi dari berbagai pihak. Itu berarti memberikan perhatian yang lebih besar kepada dimensi pengembangan dan dimensi pemeliharaan sehingga ketiga dimensi itu menuju pada tingkat kualitas yang memungkinkannya untuk sama-sama berkembang dengan sifat saling berkaitan dan saling memperkuat.
Demokratisasi di Indonesia
Dalam usaha mencapai puncak keberhasilan berdemokrasi, banyak pengorbanan yang harus diberikan di dalam perjuangan itu. Mengisi kemerdekaan berdemokrasi berarti menjalankan tugas dan mengejar cita-cita, tanpa kehilangan spontanitas suara naluri, akal sehat, serta tetap konsekuen secara tulus ikhlas biar pun berhadapan dengan berbagai bencana hidup. Maka, mengisi kultur politik demokrasi adalah mengembalikan dan menumbuhkembangkan karakter bangsa dengan sikap rasional, moral dan spiritual sebagai kondisi kultural yang sangat berperan untuk menggerakkan kemajuan, memelihara momentum dan memberikan rohnya.
Di samping itu, martabat kemanusiaan sebagai titik tolak dan tujuan sentral diletakkan secara proporsional dari segala hal yang mengekang dan mengungkung ekspresi dan karya manusia. Strategi pindah alur dari KKN lama ke KKN baru (kognisi-karsa-nalar) yang diperlukan saat ini tiada lain adalah optimalisasi cendekiawan Muslim untuk menguasai, memiliki dan mengembangkan sains-teknologi berdasarkan akhlak Islami.
Manusia Indonesia yang mampu berdemokrasi akan menumbuhkan nilai kultur politik demokratis dalam masyarakatnya karena suara hati dan kemanusiaan itu menembus tapal batas negara-negara, lebih kosmopolitan dan lebih berbudaya yang tidak lagi saatnya secara purbasangka mempertentangkan humanisme universal dengan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Mengisi bingkai konstruksi masa depan pembangunan kultur politik rakyat Indonesia , berarti menggambarkan sejumlah catatan optimistik sekali pun dibarengi dengan sejumlah tantangan yang makin berat. Masa depan Indonesia yang lebih baik terbangun oleh pelbagai keadaan masa kini dan masa lampau. Tantangan yang makin berat adalah ledakan penduduk yang tak terhindarkan untuk terjadi dan secara simultan melahirkan persoalan pemukiman berkaitan dengan keterbatasan penyediaan lahan; persoalan tenaga kerja berkaitan dengan keterbatasan lapangan kerja; dan persoalan kriminalitas berkaitan dengan ketidakadilan sosial dan ketidakadaan alternatif lapangan kerja.
Secara politik, globalisasi mewujudkan ciri dalam polarisasi kekuatan politik internasional yang tidak tegas terpola seperti di era perang dingin, sehingga menantang Indonesia untuk memainkan politik luar negeri yang tidak saja bebas dan aktif namun juga luwes dan antisipasif. Kualitas pembangunan kultur politik menuju masyarakat madani akan meningkat melalui proses pendidikan, terbukanya saluran informasi, pemerataan stabilitas strata ekonomi masyarakat, serta meningkatnya daya kecerdasan masyarakat, kesadaran politik akan semakin berperan penting dalam pembangunan kultur berbangsa.
Di masa depan, proses demokratisasi dapat terus berjalan seiring dengan meningkatnya kualitas pendidikan dan kemajuan perekonomian. Peningkatan kesadaran politik rakyat ini dibarengi tuntutan adanya aparatur negara yang bersih (good governance) dan efisien mengingat posisi dan peranan aparatur negara makin lama makin tinggi. Melainkan juga melalui organisasi fungsional dan profesional. Peranan sosial-politik TNI yang berasal dari rakyat dan dwifungsi yang merupakan bagian integral sistem politik Indonesia jelas berperan penting bersama-sama dengan infrastruktur lainnya dalam mewujudkan demokratisasi.
Dalam upaya pemberdayaan kultur politik rakyat yang demokratis yang kini sedang berjalan, haruslah diadakan upaya sungguh-sungguh untuk menciptakan perangkat pengawasan lembaga eksekutif dan perlu disertai dengan pengawasan sosial. Dalam upaya menciptakan pengawasan sosial inilah diperlukan suatu sisten checks and balances (pengawasan dan keseimbangan) yang jelas dan efektif. Maknanya adalah bahwa di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, eksekutif harus dicegah jangan sampai melampaui batas-batas wewenangnya atau untuk mencoba melakukan akumulasi kekuasaan.
Oleh karena itulah, DPR dan Mahkaman Agung (MA) perlu diberikan kekuasaan yang memadai untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Sebaliknya, agar lembaga legislatif dan lembaga yudikatif tidak lantas semena-mena dalam membuat larangan atau menerapkan pengawasan, lembaga eksekutif juga perlu diberikan seperangkat ketentuan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh DPR dan Mahkamah Agung. Dengan demikian, semua lembaga akan mampu saling menjaga agar tidak melampaui batas kekuasaan masing-masing dan agar selalu terpacu untuk melakukan semua tugasnya secara optimal.
Berbagai kritik terhadap keberadaan format politik yang ada sekarang ini, sebenarnya dapat diakomodasikan tanpa perlu mengubah format politik itu sendiri secara total, melainkan sekadar menyesuaikan serta menyempurnakannya dengan tujuan mengoptimalkan peranan infrastruktur yang selama ini terasa belum berjalan sebagaimana mestinya. Masih banyak yang dilakukan oleh organisasi kekuatan sospol dan parpol dalam rangka menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Demikian juga, terdapat hal-hal yang semestinya dapat dilakukan oleh organisasi fungsional dan profesional untuk meningkatkan kiprahnya dalam membina serta mengembangkan profesi dan fungsi masyarakat dalam pemberdayaan SDM, serta menyalurkan berbagai macam aspirasi dan kepentingan mereka dalam mengatasi kesulitan hidup sehari-hari, bukan yang secara material saja melainkan juga berkenaan dengan motivasi, penyuluhan, partisipasi, dan peranan rakyat dalam mencari jalan keluar untuk menghadapi berbagai permasalahan.
Selain itu, masih banyak pertanyaan fundamental yang harus diajukan dan memperoleh jawaban. Salah satu sebab utama timbulnya berbagai masalah itu, secara singkat adalah tidak berkuasanya rakyat sebagai akibat macetnya sistem checks and balances. Semua kritik serta usul yang berkaitan dengan perbaikan di bidang tatanan politik pada hakikatnya mengacu pada terciptanya pengawasan dan keseimbangan ini.***
ilmu tilik ternak
PENDAHULUAN
Bila kita ingin meningkatkan produktivitas ternak, misalnya produksi susu, produksi telur kita tidak akan lepas dari 3 aspek yaitu (1) bibit ternak, (2) pakan, dan (3) manajemen. Ketiga aspek tersebut sangat erat hubungannya dan tidak bisa terpisahkan. Bibit yang baik tanpa diberi pakan yang memadai ternak-ternak tidak akan berproduksi dengan maksimal. Demikian juga dengan kalau bibit yang jelek diberi pakan yang bagus tidak akan tumbuh secara efisien Untuk mencapai sapi perah yang ideal jelas diperlukan perbaikan teknologi pemeliharaan.
Sedangkan BCS adalah teknik untuk penilaian kondisi dari hewan ternak pada periode tertentu. Tujuan dari penilaian adalah untuk mencapai keseimbangan antara nilai ekonomis makanan, produksi yang baik dan kesehatan.ternak dengan tujuan tertentu, Body Condition Score sangat diperlukan bila kita ingin melakukan pembibitan ataupun kita ingin melihat kodisi dan tingkat produksi pada ternak. BCS pada ternak dapat dilakukan dengan melihat performans atau sifat ekterior dan interior pada ternak yang akan di gunakan.
PEMBAHASAN
Body Condition Score pada sapi juga digunakan untuk menentukan tingkat kegemukan. Ada beberapa macam kriteria penilaian untuk menetapkan tingkat kegemukan pada ternak atau sapi. Diantaranya yaitu sebagai berikut:
Performans/Kondisi Eksterior Sapi
Keadaan Umum
Tabel Penilaian
Nama | Kondisi tubuh | Scor dairy cow | Dairy caracter | Kapasita badan | Kelenjar ambing |
Abdul rauf | 5 | 25 | 18 | 20 | 20 |
John harianto | 5 | 25 | 20 | 18 | 25 |
Arjuna usman | 4 | 20 | 18 | 18 | 18 |
Garry anugrah | 4 | 20 | 17 | 20 | 20 |
yermia | 5 | 25 | 17 | 18 | 18 |
Rata-rata | 4,6 | 23 | 18 | 18,8 | 20,2 |
Berdasarkan pengamatan yang telah kami lakukan,maka BCS pada gambar
sapi perah Betina di atasa agak gemuk dengan rata-rata penilaian skor 4,6.
Dengan alasan karena pada Dari hasil pengamatan dilapangan dan dari gambar diatas dapat dilihat bahwa sapi Betina tersebut dari arah samping tidak nampak kelihatan tulang belakang,tulang rusuk dan pangkal ekor.
sapi tersebut memiliki kondisi tubuh yang sehat dilihat dari postur tubuhnya yang pergerakan atau aktifitas yang cukup lincah dan tidak memiliki cacat fisik, cacat genetic, maupun cacat yang tersembunyi. Kondisi ternak perah sangat berpengaruh terhadap kemampuan produksi susu nya. Cacat yang dimaksud di sini yaitu cacat genetic misalnya hanya satu lambung dsb, sedangkan cacat mekanik yaitu cacat tubuh yang disebabkan oleh faktor luar/linkungan misalnya kulit luka, kaki pincang karena dengan menilik penampilan dari sapi tersebut penampilannya sangat baik dan sempurna karena sapi-sapi tersebut aktif, matanya bercahaya, bulunya tidak kasar dan kusam, nafsu makannya baik, sikap berdirinya tegak serta tidak cacat.
A.Score Dairy Cow.
Penampilan Umum
Berdasarkan hasil Pengamatan Untuk Penampilan Umum sapi Perah Betina BCS nya dengan penilaian Poin 23 karena memiliki sifat karasteristik bangsa serta Kualitas Tubuh yang ideal. Berdasarkan gambar diatas sapi tersebut bentuk kepala dan lehernya halus dan kuat, bulunya halus serta matanya bersinar,dan bentuk bahu pada sapi tersebut,halus, lebar, serta memiliki kaki yang kuat dan rata. Ini menandakan bahwa sapi tersebut sehat,karena jika nampak matanya redup,dan memiliki kaki yang tidak rata berarti sapi tersebut kurang sehat
Dairy Charakter
Berdasarkan hasil Pengamatan Untuk sapi Perah Betina Dairy Charakter BCS nya dengan penilaian Poin 18 karena memilki wither yang runcing serta memiliki panggul yang dalam serta kulit yang lunak yang mendekati angka 20 sebagai penilaian skor tertinggi
Kapasitas Badan
Berdasarkan hasil Pengamatan Untuk sapi Perah Betina pada kapasitas badannya BCS nya dengan penilaian Poin 18,8 karena memiliki perut yang besar,panjang lebar dan dalam yang mengindikasikan bahwa ternak tersebut memiliki kapasitas yang ideal
Sisitem kelenjar Ambing
Pada sistem kelenjar ambing BCS penilaiannya 20,2. Karena ambingnya tidak terlalu simestris akan tetapi pada sudah cukup baik karena di lain ambing depan tidak terlalu panjang memilki pertautan yang kuat,pada punting seragam dan memilki diameter yang sedang serta pada vedna susu besar dan panjang
B. Score Dairi Bull(Jantan)
Nama | Penampilan umum | Sifat perah | Body capacity |
Abdul rauf | 30 | 20 | 20 |
John harianto | 40 | 25 | 25 |
Arjuna usman | 40 | 20 | 25 |
Garry anugrah | 30 | 20 | 20 |
yermia | 40 | 20 | 20 |
Rata-rata | 36 | 21 | 22 |
Penampilan Umum
Berdasarkan hasil Pengamatan Untuk Penampilan Umum sapi Perah Pejantan BCS nya dengan penilaian Poin 36. Dengan alasan karena pada Dari hasil pengamatan dilapangan dan dari gambar diatas dapat dilihat bahwa sapi jantan tersebut dari arah samping nampak kelihatan tulang belakang dan pangkal akan tetapi kondisi sapi tersebut memiliki kondisi tubuh yang cukup sehat karena pada bentuk bahu dan kepalanya, kompak, halus, lebar, mata bersinar, dan pada Kaki lurus dan rata Ini menandakan kondisi sapi cukup sehat
Sifat Perah
Untuk Sifat Perah Penilaian BCS nya Adalah 21 poinKarena memiliki leher yang agak panjang tidak bulat akan tetapi pada lehernya apabila di raba halus.
Body Capacity
Pada body Capacity BCS nya 22 karena kemampuan makannya cukup bagus terlihat pada perut kuat,lincah dan memilki lingkar dada yang yang cukup besar dan dalam
Subscribe to:
Posts (Atom)