Monday, April 4, 2011

Cinta Yang Tak Pernah Padam

Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku
tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan
pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa
menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga
Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun
tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu
adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa
menemukan petunjuk.

Lalu aku baca tahun "1924". Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun
yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas
kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya.
Tertulis di sana, "Sayangku Michael", yang menunjukkan kepada siapa surat
itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat itu menyatakan
bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah melarangnya.
Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani
oleh Hannah. Surat itu begitu indah.

Tetapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu.
Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor
telepon alamat yang ada pada amplop itu.
"Operator," kataku pada bagian peneragan, "Saya mempunyai permintaan yang
agak tidak biasa. sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang saya
temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor
telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet
tersebut?"

Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang
tampaknya tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata,
"Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa
memberitahukannya pada anda." Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi
nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah
mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku menunggu beberapa menit.

Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, "Ada orang yang ingin berbicara
dengan anda." Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana,
apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah.
Ia menarik nafas, "Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki
anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu!"
"Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?" tanyaku.
"Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo
beberapa tahun lalu," kata wanita itu. "Mungkin, bila anda menghubunginya
mereka bisa mencaritahu dimana anak mereka, Hannah, berada."
Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana,
mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama
meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana
anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor
yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita
mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo.

"Semua ini tampaknya konyol," kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku
mau repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan
surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu?
Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang
berada.
Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, "Ya, Hannah memang tinggal
bersama kami."
Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar bisa
menemui Hannah.
"Ok," kata pria itu agak bersungut-sungut, "bila anda mau, mungkin ia
sekarang sedang menonton TV di ruang tengah."

Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut.
Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas
malam menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah,
perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut
ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar. Aku
menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun menunjukkan
padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop surat berwarna biru
lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam
dan berkata, "Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan
Michael."  Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan
lembut, "Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru
berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia
sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu."  "Ya," lanjutnya.
Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. "Bila kau bertemu dengannya,
katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,......."
Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata,
"......katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda," katanya
sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, "aku tidak pernah menikah
selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Michael."
Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku
menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di
sana menyapa, "Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?"
Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, "Aku hanya
mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan
sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh
hariku untuk menemukan pemilik dompet ini."
Aku keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya.
Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, "Hei, tunggu dulu. Itu adalah
dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang
itu.
Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu
tiga kali di dalam gedung ini."

No comments:

Post a Comment