Monday, April 4, 2011

cinta seorang pecinta

Mukadimah
Pertengahan abad pertama Hijriah, yaitu masa pasca kekhalifahan Abu Bakar bin Abu
Quhafah, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Imam Ali bin Thalib, Muawiyah yang
tadinya menjabat gubernur Syam (Suriah) atas pilihan Utsman bin Affan mengangkat dirinya
sebagai khalifah setelah berhasil menyingkirkan khalifah yang sah, Imam Hasan bin Ali yang
menggantikan Imam Ali dan berbasis di Madinah.
Ketika Muawiah Bin Abi Sufyan menemui ajalnya, anaknya yang bernama Yazid
menggantikan kedudukannya di atas singgasana khalifah yang saat itu sudah benar-benar
menyerupai kerajaan tiran dan sarat ironi. Seperti ayahnya, karena naik tanpa restu umat dan
syariat, Yazid mencari baiat dengan cara paksa dari umat. Di pihak lain, sebagai tokoh yang
paling berpengaruh di tengah umat, putera Fatimah Azzahra dan cucu tercinta Rasul, Imam
Husain bin Ali bin Abi Thalib yang tinggal di Madinah, diincar oleh Yazid. Beliau dikirimi
surat dan pesan agar memilih satu diantara dua pilihan; baiat kepada Yazid atau mati.
Saat menolak pilihan pertama, baiat, Imam Husain tiba-tiba diserbu ribuan surat dari
penduduk Kufah, Irak. Mereka menyatakan siap mengadakan perlawanan bersenjata atas
Yazid bin Muawiyah dan membaiat Imam Husain sebagai khalifah dengan syarat beliau
datang ke Kufah untuk mengoordinasi dan mengomandani pasukan perlawanan. Tadinya
Imam keberataan memenuhi ajakan itu karena orang Kufah sudah lama beliau ketahui sulit
dipegang janjinya.
Namun, keberatan itu membuat beliau semakin dibanjiri surat sampai akhirnya beliau tak
kuasa untuk menolak saat surat-surat terakhir penduduk Kufah berisikan ancaman mereka
untuk mengadukan beliau kepada Allah di hari kiamat kelak bahwa beliau telah menolak
kebangkitan melawan penguasa tiran, bahwa beliau telah menyia-nyiakan kekuatan dan
kesempatan yang tersedia untuk menumbangkan penguasa zalim dan kejam, bahwa beliau
tidak mengindahkan jeritan, derita, dan harapan kaum mustahd'afin, dan bahwa beliau tidak
berani mengorbankan jiwa dan raga demi melawan penguasa durjana. Sang Imam tak
berkutik, meskipun beliau tahu semua itu belum tentu mencerminkan loyalitas penduduk
Kufah dengan resiko apapun. Saat itulah Imam merasa dihadapkan pada ketajaman lensa
sejarah yang hanya mau merekam bukti dan kenyataan di depan mata umat, bukan dogmadogma
sakral tentang hakikat non-derawi. Jadi, kebangkitan Imam tadinya bukan berarti
harus keluar dari menuju Kufah, tetapi karena secara kasat mata di Kufah sudah tersedia
kesempatan dan kekuatan untuk menumbangkan Yazid, beliau harus keluar untuk
memastikan benarkah kesempatan itu memang ada.
Maka, meskipun dengan berat hati dan keyakinan penuh bahwa beliau akan menghadapi
marabahaya, undangan penduduk Kufah itu akhirnya beliau penuhi. Beliau mengirim
utusannya, Muslim bin Aqil untuk meninjau keadaan yang sesungguhnya di Kufah. Di Kufah,
Muslim mendapati rakyat benar-benar sedang diterjang gelora semangat perlawanan.
Karenanya, Muslim menyampaikan berita gembira itu kepada Imam Husain lewat surat.
Imam berangkat menuju Kufah bersama rombongannya yang berjumlah ratusan orang,
setelah beliau singgah terlebih dahulu ke Mekkah.
Ketika Imam sedang dalam perjalanan panjang menuju Kufah, keadaan di kota ini berubah
total. Nyali penduduk tiba-tiba ciut dan keder setelah diancam habis-habisan oleh gubernur
Kufah yang berdarah dingin, Ubaidillah bin Ziyad. Semua menutup pintu rapat-rapat dan tak
ada yang berani keluar untuk bicara dan berkumpul lagi soal gerakan perlawanan. Hanya
segelintir orang yang masih setia kepada Muslim bin Aqil dan siap menyongsong segala
resiko. Namun akhirnya mereka ditangkap. Muslim dihabisi dengan cara yang sangat sadis.
Jasadnya yang tanpa kepala dipertontonkan di pasar Kufah, dan penduduk terpaksa purapura
ikut bergembira atas kematian Muslim.
Perubahan itu tercium Imam Husain dan rombongannya ketika sudah mendekati Kufah.
Mendengar itu, rombongan Imam banyak yang terguncang kemudian memilih mundur dan
keluar dari barisan Imam. Jumlah pengikut beliau akhirnya surut drastis, hanya tinggal
beberapa wanita dan anak kecil serta puluhan orang. Namun, karena masih ada setumpuk
alasan, putera pasangan suci Imam Ali dan Fatimah Azzahra itu tetap melanjutkan perjalanan
sampai kemudian berhadapan dengan pasukan kiriman gubernur Kuffah pimpinan Hur bin
Yazid Arriyahi. Pasukan itu dikirim sengaja untuk menghadang rombongan Imam.

No comments:

Post a Comment