Monday, April 4, 2011

Demokrasi Pascapemilu di Indonesia


Demokrasi Pascapemilu di Indonesia
 
salah satu peristiwa yang menarik bagi bangsa kita, yang mencerminkan proses terwujudnya demokratisasi di Indonesia melalui pemilihan umum legislatif dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Patut pula diperhatikan dari dua episode peristiwa pemilu sebelumnya yang terselanggara dalam situasi aman, damai, dan terlaksana secara jujur dan transparan, merupakan peristiwa yang mengantarkan rakyat Indonesia menjadi lebih dewasa dalam memilih kemunculan kepemimpinan Indonesia baru sebagai hasil kemenangan rakyat Indonesia.
Dalam konteks ini, tidak ada kelompok yang kalah, dan tidak ada kelompok yang menang. Semua peristiwa itu merupakan proses kesinambungan dalam perwujudan kompetisi yang sehat dan proses demokratisasi yang terbuka. Kemunculan peristiwa itu pun membawa kita untuk merekonstruksi kembali berbagai teori politik dan sosial yang dilatarbelakangi oleh fenomena pemikiran tradisional maupun modern kontemporer dalam mengonsepsikan hakikat struktur politik demokrasi dan tindakan sosial serta relasi antara keduanya.
Berbagai alternatif teoretis yang ditawarkan tentang rekonseptualisasi atas konsep demokrasi politik serta pengintegrasiannya ke arah pembaharuan dan perubahan sosial, merupakan upaya baru dalam penataan relasi-relasi sosial lintas ruang (space) pluralistik dan multikultural berdasarkan analisis struktural, kultural integratif dan holistik hendaknya mendapat perhatian saksama. Dalam konteks masa (time) saat ini, kendati masih merupakan masa transisi menuju demokrasi yang sebenarnya bagi rakyat Indonesia, kita sudah memiliki modal awal untuk penataan dan menindaklanjuti proses demokrasi baik dalam birokrasi maupun ruang publik (public sphere).
Kehendak untuk menciptakan tatanan civil society/masyarakat madani yang lebih demokratis merupakan suatu hal yang wajar dan juga merupakan kelanjutan atau konsekuensi dari berbagai hasil pendidikan politik rakyat yang telah dicapai selama ini. Rakyat yang kualitas hidupnya meningkat atau setidaknya kesulitan kehidupan yang dihadapinya berkurang, dan ketika mereka mulai lebih banyak memberikan perhatian kepada proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta tidak lagi sekadar bergulat dengan kepentingannya sendiri merupakan ciri ke arah perwujudan masyarakat madani.
Perkembangan demokrasi
Pembangunan sistem politik yang demokratis memerlukan perubahan tatanan secara drastis, progresif, dan revolusioner kendati dapat juga mengandung biaya politik tinggi. Tampaknya, kemerdekaan yang kita raih tahun 1945 dari tangan penjajah tidak terlepas dari perjuangan panjang yang diawali tahun 1908 yang terkenal dengan gerakan Budi Utomo sehingga mampu menggerakkan kebangkitan nasional pertama. Dari situ perjuangan cendekiawan muda terus menggelinding dan tercetuslah Sumpah Pemuda tahun 1928 sebagai tonggak awal yang sangat strategis untuk mencapai Indonesia merdeka.
Belajar dari masa lampau, orang mungkin dapat melihat adanya dua pola tingkah laku politik ekstrem dalam masyarakat Indonesia. Pola pertama ialah berupa kecenderungan untuk memiliki kebebasan tanpa batas yang mudah melahirkan berbagai macam konflik. Kehadiran beraneka ragam konflik bukan saja menyulitkan untuk mencari konsensus, tetapi sering pula kadar konflik itu dengan cepat meningkat menjadi bentrokan fisik atau pemberontakan yang membahayakan. Pola tingkah laku politik ekstrem kedua ialah berupa kecenderungan untuk melumpuhkan konflik sama sekali. Pola tingkah laku politik begitu jelas terlihat di zaman demokrasi terpimpin atau kini terkenal dengan sebutan Orde Lama.
Pola perkembangan berikutnya pada tahun 1966. Pada masa ini, muncul konflik yang disebabkan eksperimen bangsa Indonesia dalam berpolitik dengan penggunaan sistem demokrasi liberal dan sistem demokrasi terpimpin. Kedua sistem politik tersebut terbukti gagal dalam membangun kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang stabil dan sehat. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni ketidakstabilan politik yang berkepanjangan yang dilandasi oleh pertentangan ideologi yang tajam yang kadang-kadang bermuara pada pemberontakan bersenjata yang membahayakan kehidupan bangsa dan negara. Puncak kemelut politik yang berkepanjangan itu adalah peristiwa G-30-S/PKI yang nyaris menghancurkan bangsa dan negara.
Setelah melihat penyimpangan terhadap pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang dilakukan rezim Orde Lama, masyarakat Indonesia tampil ke depan untuk menuntut pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Maka, pembangunan kultur politik masa berikutnya adalah bagaimana menyadarkan masyarakat untuk melaksanakan demokrasi Pancasila secara tepat.
Di zaman Orde Baru, pembangunan kultur politik terus berkembang dan berbeda dengan era Orde Lama. GBHN 1993 menyatakan bahwa sasaran pembangunan nasional adalah terciptanya dan berfungsinya tatanan kehidupan masyarakat berdasarkan demokrasi Pancasila yang mantap dan dinamis, dengan kualitas manusia dan masyarakat yang tinggi serta bersikap dan berperilaku sesuai nilai Pancasila dalam semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang berwawasan nusantara. Namun, perjalanan menuju ke arah tercapainya sasaran pembangunan tatanan kehidupan kultur politik yang konstitusional itu tidak lepas dari berbagai tantangan di bidang politik, HAM, ekonomi, sosial, budaya, yang secara tak langsung dapat menimbulkan citra yang merugikan kepentingan rakyat.
Dinamika demokrasi
Permasalahan dinamika kultur politik yang kita hadapi adalah berupa problematika pemberdayaan demokrasi politik rakyat yang kini tampak terus diberdayakan semaksimal mungkin. Lihat saja berbagai kalangan dan profesi, tak ketinggalan rakyat biasa amat terbuka untuk mengemukakan pandangan-pandangan politiknya, terlepas dari benar salahnya, dari mulai tempat lobi hingga warung kopi.
Secara teoretis, suatu sistem politik dapat dikatakan sudah siap untuk berjalan mulus bilamana ia telah berhasil mencapai tingkat kualitas kapabilitas atau kemandirian yang cukup tinggi sehingga kemungkinannya menjadi satu sistem politik yang dapat diandalkan (viable). Sifat kredibilitas dan kapabilitas kultur politik yang dapat diandalkan itu ditentukan oleh kemampuannya untuk mengembangkan diri atau kapasitasnya secara terus- menerus dan juga kemampuan untuk mengatasi berbagai macam krisis yang membahayakan kelangsungan hidupnya yang mungkin dihadapinya dari waktu ke waktu.
Menurut Alfian, ada tiga dimensi kemampuan yang terkandung dalam kapabilitas atau kemandirian sistem politik. Ketiga dimensi itu adalah dimensi pencegah atau dimensi preventif, dimensi pemeliharaan dan saling berkaitan serta dimensi pengembangan atau dimensi pembaruan. Ketiga dimensi itu seyogianya saling memperkuat. Sifat saling berkaitan dan saling memperkuat itu akan semakin tinggi kadarnya bilamana memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai macam kesulitan atau krisis yang membahayakan dirinya yang mungkin dihadapinya dari waktu ke waktu.
Perkembangan kehidupan kultur politik bangsa dan negara selama ini memang memperlihatkan masih menonjolnya dimensi pencegahan, sehingga dua dimensi lainnya tampak agak terabaikan. Sungguh pun begitu, selama ini tiga presiden, baik B.J. Habibie, Gus Dur maupun Megawati berupaya mengakselerasikan ke arah peletakan dasar kultur politik menuju penyempurnaan perwujudan sistem politik yang dapat diandalkan, memang telah pula memperlihatkan hasil-hasil yang mencerminkan dimensi pemeliharaan dan dimensi pengembangan. Melalui itu, dapat dilihat format dan kerangka sistem politik yang sedang terus dibangun.
Problematika yang sedang dihadapi dewasa ini adalah bagaimana mengisi atau memberi substansi yang relevan terhadap format dan kerangka tersebut. Dinamisasi struktur politik dengan pengembangan partai-partai politik dan penataan kehidupan bermasyarakat serta pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan kembali ekonomi Indonesia ke arah struktur global “kapitalisme”, telah mengembangkan kekuatan negara menjadi kekuatan yang dominan, di bawah bayang-bayang sipil (demokrasi kerakyatan). Dalam hal ini, timbul persoalan bagaimana proses dan prospek pembangunan kultur politik Indonesia.
Dalam pandangan saya, persoalan tersebut kiranya dapat diperhatikan kemungkinan penanganannya secara umum dengan cara konsolidasi setiap komponen infrastruktur politik, ekonomi, serta sosial budaya, sehingga potensi dan kekuatan yang ada di dalam tubuh bangsa dapat mempersiapkan diri melaksanakan perannya untuk menyukseskan tercapainya sasaran pemberdayaan SDM yang mandiri, unggulan, dan kompetitif.
Selain itu, perlu juga diciptakan suasana serta mekanisme kebersamaan dan keterbukaan yang mendorong gerak dinamika yang sudah ada dalam masyarakat ke arah yang lebih produktif, efektif, dan efisien; dan tindakan suasana dan mekanisme yang menghambat gerak dinamika. Terakhir yang tak kalah penting adalah terus dilakukan kajian kecenderungan perkembangan keadaan baik di dalam negeri, maupun di luar negeri, yang dapat memberikan peluang ataupun hambatan bagi gerak dinamika bangsa, dan siapkan kebijakan yang dianut untuk menghadapinya.
Memang pada saat ini, ketiga dimensi kapabilitas atau kemandirian diharapkan dapat berjalan berimbang, wajar, dan dalam suasana keharmonisan yang mencerminkan kadar yang cukup tinggi dari sifat saling berkaitan dan saling memperkuat. Perkembangan dimensi pembaruan sistem politik akan serta merta mendorong perkembangan dua dimensi lainnya, dan sebaliknya. Dengan begitu, tidak akan ada lagi suasana, yang satu dimensi berperan sangat menonjol seperti yang terlihat dengan dimensi preventif selama ini, sedangkan peran dua dimensi lainnya tampak minim atau kecil sehingga seolah-olah terabaikan.
Untuk mengetahui lebih mendalam problematika pokok perkembangan ketiga dimensi yang baru saja mencapai sifat saling berkaitan dan saling memperkuat kadar cukup tinggi pada tingkat kegoyahan dan kerapuhannya secara mendasar, perlu menelusuri/meneliti berbagai segi yang terkandung di dalam, dan mempengaruhi sistem politik yang berlaku dalam proses pembangunan dirinya. Tetapi, masalah pembangunan sistem politik yang masih dihadapi sekarang adalah problematika pemberdayaan demokrasi politik rakyat yang kini tampak terus diberdayakan semaksimal mungkin. Paling kurang ada empat segi aspek-aspek dominan yang saling memengaruhi dalam proses pembangunan sistem politik rakyat yang demokratis yakni, ideologi dan budaya politik, struktural dan lembaga politik, segi partisipasi dan komunikasi politik serta faktor non-politik.
Ditinjau dari segi ideologi dan budaya politik, salah satu jalan untuk memecahkan problematika itu ialah melalui peningkatan pemahaman bahwa ideologi bersama adalah ideologi terbuka dan demokratis. Perumusan Pasal 28 UUD 1945, sesungguhnya mempertegas sifat keterbukaan dan demokratis itu. Dengan penegasan itu, diharapkan kita tidak sampai memahami atau menafsirkan secara keliru paham integralistik yang dianut bersama, seperti yang dapat menjerumuskan masyarakat, bangsa dan negara ke alam otoriterisme/totaliterisme. Dari sudut inilah, pemahaman yang benar dan tepat tentang sifat keterbukaan dan demokratis dari paham integralistik yang kita anut menjadi landasan pemikiran ideologi dan konstitusi bersama.
Ditinjau dari segi struktural dan lembaga politik, esensi pemecahan problematika itu terletak pada kemampuan dan kemauan untuk menjadikan lembaga-lembaga yang ada dan berlaku, baik yang supra maupun yang infra, dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Itu antara lain berarti meningkatkan kualitas kemandirian lembaga-lembaga politik yang masih lemah dengan antara lain berarti memberi keleluasaan yang jauh lebih longgar kepada lembaga-lembaga politik tersebut. Dari situ kembali dilihat sifat saling berkaitan dan saling memperkuat dari ketiga dimensi bilamana kualitas kapabilitas/kemandiriannya berhasil mencapai tingkat keberimbangan yang wajar dan sehat.
Sementara itu, jika ditinjau dari segi partisipasi dan komunikasi politik, pengembangan suasana keterbukaan masyarakat seperti itu sekaligus akan mempertinggi kemampuan pencegahan dan kemampuan pemeliharaannya. Di sini kita kembali melihat suasana atau sifat saling berkaitan dan saling memperkuat antara kedua dimensi kapabilitas atau kemandirian dalam kaitannya dengan segi partisipasi dan komunikasi politik.
Selain itu, salah satu problematika yang berkaitan dengan faktor-faktor non-politik ialah berupa kesulitan dalam menyelaraskan, mengimbangkan, dan mengharmoniskan pembangunan kultur politik dengan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Salah satu cara yang dapat membantu pemecahan problematika ialah dengan jalan memperluas ruang gerak bagi berkembangnya suasana keterbukaan yang disertai dengan rasa tanggung jawab yang tinggi dari berbagai pihak. Itu berarti memberikan perhatian yang lebih besar kepada dimensi pengembangan dan dimensi pemeliharaan sehingga ketiga dimensi itu menuju pada tingkat kualitas yang memungkinkannya untuk sama-sama berkembang dengan sifat saling berkaitan dan saling memperkuat.
Demokratisasi di Indonesia
Dalam usaha mencapai puncak keberhasilan berdemokrasi, banyak pengorbanan yang harus diberikan di dalam perjuangan itu. Mengisi kemerdekaan berdemokrasi berarti menjalankan tugas dan mengejar cita-cita, tanpa kehilangan spontanitas suara naluri, akal sehat, serta tetap konsekuen secara tulus ikhlas biar pun berhadapan dengan berbagai bencana hidup. Maka, mengisi kultur politik demokrasi adalah mengembalikan dan menumbuhkembangkan karakter bangsa dengan sikap rasional, moral dan spiritual sebagai kondisi kultural yang sangat berperan untuk menggerakkan kemajuan, memelihara momentum dan memberikan rohnya.
Di samping itu, martabat kemanusiaan sebagai titik tolak dan tujuan sentral diletakkan secara proporsional dari segala hal yang mengekang dan mengungkung ekspresi dan karya manusia. Strategi pindah alur dari KKN lama ke KKN baru (kognisi-karsa-nalar) yang diperlukan saat ini tiada lain adalah optimalisasi cendekiawan Muslim untuk menguasai, memiliki dan mengembangkan sains-teknologi berdasarkan akhlak Islami.
Manusia Indonesia yang mampu berdemokrasi akan menumbuhkan nilai kultur politik demokratis dalam masyarakatnya karena suara hati dan kemanusiaan itu menembus tapal batas negara-negara, lebih kosmopolitan dan lebih berbudaya yang tidak lagi saatnya secara purbasangka mempertentangkan humanisme universal dengan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Mengisi bingkai konstruksi masa depan pembangunan kultur politik rakyat Indonesia, berarti menggambarkan sejumlah catatan optimistik sekali pun dibarengi dengan sejumlah tantangan yang makin berat. Masa depan Indonesia yang lebih baik terbangun oleh pelbagai keadaan masa kini dan masa lampau. Tantangan yang makin berat adalah ledakan penduduk yang tak terhindarkan untuk terjadi dan secara simultan melahirkan persoalan pemukiman berkaitan dengan keterbatasan penyediaan lahan; persoalan tenaga kerja berkaitan dengan keterbatasan lapangan kerja; dan persoalan kriminalitas berkaitan dengan ketidakadilan sosial dan ketidakadaan alternatif lapangan kerja.
Secara politik, globalisasi mewujudkan ciri dalam polarisasi kekuatan politik internasional yang tidak tegas terpola seperti di era perang dingin, sehingga menantang Indonesia untuk memainkan politik luar negeri yang tidak saja bebas dan aktif namun juga luwes dan antisipasif. Kualitas pembangunan kultur politik menuju masyarakat madani akan meningkat melalui proses pendidikan, terbukanya saluran informasi, pemerataan stabilitas strata ekonomi masyarakat, serta meningkatnya daya kecerdasan masyarakat, kesadaran politik akan semakin berperan penting dalam pembangunan kultur berbangsa.
Di masa depan, proses demokratisasi dapat terus berjalan seiring dengan meningkatnya kualitas pendidikan dan kemajuan perekonomian. Peningkatan kesadaran politik rakyat ini dibarengi tuntutan adanya aparatur negara yang bersih (good governance) dan efisien mengingat posisi dan peranan aparatur negara makin lama makin tinggi. Melainkan juga melalui organisasi fungsional dan profesional. Peranan sosial-politik TNI yang berasal dari rakyat dan dwifungsi yang merupakan bagian integral sistem politik Indonesia jelas berperan penting bersama-sama dengan infrastruktur lainnya dalam mewujudkan demokratisasi.
Dalam upaya pemberdayaan kultur politik rakyat yang demokratis yang kini sedang berjalan, haruslah diadakan upaya sungguh-sungguh untuk menciptakan perangkat pengawasan lembaga eksekutif dan perlu disertai dengan pengawasan sosial. Dalam upaya menciptakan pengawasan sosial inilah diperlukan suatu sisten checks and balances (pengawasan dan keseimbangan) yang jelas dan efektif. Maknanya adalah bahwa di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, eksekutif harus dicegah jangan sampai melampaui batas-batas wewenangnya atau untuk mencoba melakukan akumulasi kekuasaan.
Oleh karena itulah, DPR dan Mahkaman Agung (MA) perlu diberikan kekuasaan yang memadai untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Sebaliknya, agar lembaga legislatif dan lembaga yudikatif tidak lantas semena-mena dalam membuat larangan atau menerapkan pengawasan, lembaga eksekutif juga perlu diberikan seperangkat ketentuan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh DPR dan Mahkamah Agung. Dengan demikian, semua lembaga akan mampu saling menjaga agar tidak melampaui batas kekuasaan masing-masing dan agar selalu terpacu untuk melakukan semua tugasnya secara optimal.
Berbagai kritik terhadap keberadaan format politik yang ada sekarang ini, sebenarnya dapat diakomodasikan tanpa perlu mengubah format politik itu sendiri secara total, melainkan sekadar menyesuaikan serta menyempurnakannya dengan tujuan mengoptimalkan peranan infrastruktur yang selama ini terasa belum berjalan sebagaimana mestinya. Masih banyak yang dilakukan oleh organisasi kekuatan sospol dan parpol dalam rangka menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Demikian juga, terdapat hal-hal yang semestinya dapat dilakukan oleh organisasi fungsional dan profesional untuk meningkatkan kiprahnya dalam membina serta mengembangkan profesi dan fungsi masyarakat dalam pemberdayaan SDM, serta menyalurkan berbagai macam aspirasi dan kepentingan mereka dalam mengatasi kesulitan hidup sehari-hari, bukan yang secara material saja melainkan juga berkenaan dengan motivasi, penyuluhan, partisipasi, dan peranan rakyat dalam mencari jalan keluar untuk menghadapi berbagai permasalahan.
Selain itu, masih banyak pertanyaan fundamental yang harus diajukan dan memperoleh jawaban. Salah satu sebab utama timbulnya berbagai masalah itu, secara singkat adalah tidak berkuasanya rakyat sebagai akibat macetnya sistem checks and balances. Semua kritik serta usul yang berkaitan dengan perbaikan di bidang tatanan politik pada hakikatnya mengacu pada terciptanya pengawasan dan keseimbangan ini.***


No comments:

Post a Comment