Monday, April 4, 2011

demokrasi di luar skenario barat


Demokrasi mula-mula berkembang di Eropa dan Amerika Utara. Di kawasan aslinya, demokrasi tidak berkembang secara linier, tapi penuh dengan pergolakan. Demokrasi melahirkan lawan-lawannya. Selain itu, juga sejumlah varian. Ternyata, seperti dikatakan Woodrow Wilson, demokrasi adalah bentuk pemerintahan sulit wujudkan. Karena itu, demokrasi "model Barat" tidak bisa diekspor secara sempurna. Demokrasi itu sebenarnya demokrasi liberal, yang disebut Francis Fukuyama sebagai model pungkasan sejarah. Semua sistem politik di dunia, jika berkembang ke sistem yang paling baik, akan menuju ke model demokrasi liberal, yang sekarang disebut "demokrasi thok", tanpa embel-embe1. Sebab, demokrasi dengan embel-embel menandakan demokrasi itu bukan demokrasi yang sebenarnya, tidak bukan demokrasi yang umum dipahami (uncommon democracy).
Berbagai negara kini mulai meninggalkan satu dan lain bentuk sistem nondemokrasi, berproses menuju ke sistem demokrasi atau memasuki tahap "transisi menuju demokrasi". Gejala ini tampak misalnya di Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia. Juga di Indonesia, terutama setelah keruntuhan rezim Orde Baru yang disebut rezim birokrasi militer yang otoriter.
Kedua penulis dari Georgetown University, Washington, DC, menggarap pernyataan dari sudut pemikiran orang Barat "Mungkinkah ada jalan menuju demokrasi di luar skenario Barat?" Asumsi buku ini, mungkin ada model demokrasi laun di luar Barat, misalnya "demokrasi Islam". Rasanya, kedua penulis ini menunjukkan empatinya yang besar, selain pengetahuannya yang cukup luas dan mendalam tentang Islam dan ideologi politik Islam. Dari awal, penulis menyimpulkan bahwa "Islam memiliki seperangkat simbol dan konsep yang potensial menumbuhkan baik absolutisme dan hierarki maupun kebebasan dan persamaan".
Kedua penulis juga mempelajari secara langsung apa yang sesungguhnya terjadi di sejumlah negara Muslim terpenting. Dari kawasan Arab diambil kasus-kasus negara Mesir, Sudan, dan Aljazair. Sedangkan dari dunia non-Arab diambil kasus Iran, Pakistan, dan Malaysia. Enam negara itu dapat disebut berada dalam transisi menuju ke demokrasi. Tapi, dalam waktu yang bersamaan juga mengandung gejala kebangkitan Islam.
Ada dua macam kesulitan pelaksananaan demokrasi di negara-negara berkembang. Pertama, berkaitan dengan keefektifan demokrasi sebagai model masalah-masalah khusus negara sedang berkembang. Apakah demokrasi cukup efektif mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi, mengintegrasikan bangsa yang pluralistis atau masyarakat yang belum berpendidikan? Kedua, yang berkaitan dengan masalah keperluaan demokrasi mendasarkan diri pada nilai-nilai tertentu. Kedua penulis itu juga mengutip observasi Corcoran bukunya, The Limits of Demucnztic Theory, tentang kekosongan moral dalam karakter demokarsi. Islam sendiri mengarah pada konsep demokrasi yang bermoral.
Dalam melihat ajaran Islam, kedua penulis menilai keberadaan nilai-nilai dasar dalam Islam yang bisa landasan operasional demokrasi, yaitu syura, ijmak, dan ijtihad. Namun, ketiga ajaran itu sering diterjemahkan sedemikian rupa, sehingga tidak sejalan dengan demokrasi. Contohnya, syura hanya diwujudkan dengan lembaga konsultatif kepala negara. Padahal, kepala negara itu bisa saja seorang tiran, sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah Islam sendiri.
Tapi, dalam yang konkret, masyarakat Muslim memiliki tradisi oposisi, bahkan pemberontakan terhadap pemerintahan yang zalim. Tradisi ini merupakan potensi besar dalam
Menciptakan masyarakat demokrasi. Dalam kebangkitan Islam, sikap oposisi itu memiliki transformasi menjadi tuntutan partisipasi politik dan pemberdayaan rakyat. Sementara itu, berbagai sistem politik represif di negara-negara Muslim kebetulan dilaksanakan oleh kaum nasionalis sekuler yang berkuasa. Maka, kebangkitan Islam seperti yang tampak di Aljazair berjalan sejajar dengan proses demokratisasi.
Hubungan Islam dan demokrasi ternyata sedang mencari bentuknya, baik sebagai gerakan kemasyarakatan maupun pemerintahan.

No comments:

Post a Comment